Lihat ke Halaman Asli

Bapakku

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari, ketika sedang 'bangkit' -istilah yang digunakan untuk mengambil susu getah karet yang ditampung dalam tempurung kelapa, tiba-tiba ada seekor kera turun dari pohon, dan berjalan mendekat. Aku terkejut dan takut. Tanpa pikir, kupungkang dengan tempurung kelapa yang berisi susu getah. Susu getah itupun tertumpah berserak mengenai sebagian bulu di tubuh kera itu.

Seketika itu juga, ia berlari dan memanjat kembali pohon untuk bergabung dengan teman-temannya. Mungkin maksudnya untuk memberi tahu temannya satu koloni, apa yang telah dialami. Atau juga, meminta tolong teman-temannya untuk membersihkan getah yang lengket di bulu-bulunya.

Tetapi kedatangannya dengan bulu terkena tumpahan susu getah, membuat semua teman yang lain berlari menjauh, ketakutan.

Bahkan, ada yang menyerang, saat ia mencoba bergabung kembali. Begitu, begitu dan begitulah berulang terjadinya.

Akhirnya kera yang bulunya berlepotan getah itu kelelahan dan duduk diam di atas pohon, sendirian. Teman-teman satu koloni pergi berlari meninggalkannya.

Kulihat, ia memandang kepergian teman-temannya dengan sedih, sambil memandangi bulu-bulunya yang berubah terkena getah, dan mencoba menghilangkan, mengusap-usap dengan kakinya.

Hari berikutnya, aku masih melihatnya berjalan sendiri di atas pohon karet, di kebun. Kera yang lain tidak terlihat lagi di sekitar kebun itu. Dia tidak selincah sebelumnya, layaknya kera. Mungkin penyesalan yang sangat dalam telah menenggelamkan dirinya dalam kesedihan.

"Kasihan," kata hatiku membatin. Getah yang menempel di bulunya, telah menjadi sebab ia berbeda dengan kera yang lain. Ia menjadi tersisih dan ditinggalkan. Dan, tidak lagi diakui sebagai teman oleh yang lain.

Pada hari ketiga dan seterusnya, aku tidak lagi melihat keberadaannya di sekitar tempat terakhir terlihat. Tidak tahu entah kemana.

Seminggu kemudian, ada tercium bahu kematian yang tidak jauh dari tempat kejadian itu, hanya dalam hitungan tujuh atau delapan jarak pokok getah.

Sambil menyadap karet seperti biasa, kulihat kiri-kanan dan depan-belakang, mencari sumber aroma bangkai itu. Dugaanku pasti kera itu telah mati. Benar. Tubuh kera yang tidak bernyawa itu kutemukan di sela-sela pohon karet, tersuruk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline