Lihat ke Halaman Asli

Besungut

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu masa dahulu, sudah sangat lama memang, bahkan sebelum Ahok, saya pernah mewacanakan agar orang Tionghoa dipilih menjadi bupati di Bengkalis, Riau, tanah kelahiranku dan rencana tempat saya meminta untuk dikuburkan. Tanpa ditanya mengapa usul itu muncul, semua kawan-kawan mentertawakan dan menuduhku gila. Dan saya berkeyakinan, sekarangpun andai ide itu dimunculkan pasti saya akan dituduh liberal, kafir, PKI dan beragam caci maki.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan tuduhan dan caci maki itu. Karena menurut keyakinanku, Islam sangat sakral untuk campur tangan langsung terhadap hal-hal profan, seperti masalah negara. Tetapi bukan berarti agama tidak penting bagi orang islam dan masyarakat islam. Melainkan, pesan moral islam harus bekerja efektif pada tataran individul dan juga komunal. Orang islam haruslah bekerja keras untuk mendapatkan pradikat manusia bertakwa yang disuruh Tuhan. Bukan mengatasnamakan tuhan/agama untuk mengatur negara.

Kembali ke sebab munculnya wacana perlu memilih bupati dari orang Cina adalah ekspresi dari suasana kebatinan yang memberontak, atau besungut kata orang Melayu. Tabi'at kebanyakan kita yang berpegang kepada pepatah: biar pecah di perut, jangan pecah di mulut.

Lima belas tahun sudah reformasi. Uang yang kita dapat lewat APBD tidak sedikit jumlahnya. Perubahan apa yang didapat masyarakat? Jujur, kita mengakui, bahwa perubahan sudah dan sedang terus berjalan. Tetapi tidak sebanding dengan besarnya uang dari pusat yang mengalir ke negeri ini. Kurang tepat kalau membandingkan dengan dua puluh tahun lalu, sebelum reformasi. Kita harus membandingkan dengan kabupaten lain, provinsi lain yang APBDnya tidak sebesar kabupaten Bengkalis, Riau.

Semua bisa melihat, mendengar, bahkan ikut merasakan kesusahan dan penderitaan. Masih banyak anak-anak yang tamat SMP, bahkan SD, hanya karena orangtua mereka tidak sanggup membelikan sepatu, baju, buku dan uang jajan bila harus sekolah. Bukan hanya itu, bahkan anak-anak usia bermain dan sekolah yang semestinya bisa mengembangkan diri mereka agar kelak lebih berarti bagi masa depan, dipaksa oleh orangtua harus bekerja menghidupi keluarga, atau terpaksa menghidupi diri sendiri.

Belum lagi infrastruktur vital yang tidak mengalami pertumbuhan dan perbaikan berarti. Akibatnya ibu dan bayinya meninggal di jalan ketika di bawa ke rumah sakit, hanya karena jalan rusak parah sehingga terjatuh. Sering kita lihat dan dengar rumah reot terbakar disebabkan lampu colok, karena listrik lebih sering mati dari hidup. Remaja terpaksa hamil di luar nikah karena tidak memiliki uang untuk hantar belanja. Dan masih sangat banyak masalah-masalah lain di negeri kaya ini, seandainya kita mahu sedikit mendengar jeritan dan tangisan mereka yang tidak bersuara.

Ya, kita hanya mampu bersungut. Kita lebih senang pecah di perut. Kita berpantang meminta-minta, walaupun tidak bisa tidur karena perut kosong. Kita lebih senang memukul anak agar diam karena tidak mampu membelikan susu dan jajan.  Rakyatnya telah kalah dan terhina di negeri yang kaya ini. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil kekayaan alam tempat mereka hidup dan menunggu kematiannya di bumi yang di tempati.

Rakyat segan untuk menegur pimpinan yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin. Alasannya selalu: masih saudara kita, tetangga kita, bapaknya kita kenal baik, dan, dan, ... Sampai kapan harus bertahan dengan kondisi ini? Sampai kapan sanggup menangis tanpa suara, memekik hanya di perut?

Seandainya mereka bukan saudara, bukan tetangga, bapaknya kita tidak kenal, mungkin jati diri Melayu yang sebenarnya akan muncul. Saat ini kita sudah letih merajuk. Sudah saatnya jati diri Melayu diwujudkan dengan mengamuk. Berteriak dengan suara lantang dan menumpahkan air mata sepuasnya. Itu baru bisa diwujudkan, kalau mereka bukan bagian dari kita. Yang terpikir di saya waktu itu Cina.

Itulah persoalannya. Saya setuju tidak perlu Cina jadi Bupati. Yang diperlukan saat ini adalah pemahaman kita terhadap masalah yang dihadapi dan kesungguhan untuk bersama-sama mengeksploitasi peluang agar penderitaan dan kesusahan tidak ada lagi. Masyarakat tempatan adalah pemilik sah negeri ini. Mereka yang harus lebih dulu dilibatkan dan ikut merasakan hasilnya. Begitupun jika ada ketidakwajaran, masyarakat diminta untuk berteriak yang menggelegar agar pengambil kebijakan sadar.

Saatnya kita introspeksi, dengan tekad kuat melakukan perbaikan demi tanah tumpah darah kita, tempat kita hidup dan mati.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline