"Berapa banyak guru yang masih hidup?" Itulah pertanyaan kaisar Jepang, Hirohito, kepada semua jenderal dan para petinggi negara, saat menyaksikan Nagasaki dan Hiroshima, hancur dibom atom oleh sekutu.
Seorang jenderal ketika itu minta waktu dan langsung berkata: "Mengapa baginda bertanya guru? Bukankah seharusnya bertanya berapa tentara dan persenjataan yang tersisa? Kondisi kita kritis." Protes sang jenderal dalam bentuk tanya, sekaligus memberi saran dan menjelaskan keadaan sesungguhnya.
"Jenderal...Untuk membangun negara yang kritis, dibutuhkan pendidikan. Kita memerlukan guru-guru, Jenderal!" Jawab kaisar Herohito tegas, dengan alasan untuk masa depan yang jelas.
==============
Pertanyaan kaisar Herohito seumpama lompatan yang tidak terlihat jejaknya, di masa depan yang jauh. Sang jenderal tidak mampu menjangkau. Jenderal hanya bisa melihat yang ada di sini dan saat ini.
Bentuk masa depan yang jauh, yang mendorong kaisar untuk bertanya, adalah visi. Seorang pemimpin harus visioner, memiliki gambaran yang jelas akan masa depan yang ingin dicapai.
Kebalikan dari pemimpin visioner adalah pemimpin reaksioner. Seperti sikap yang ditunjukkan sang jenderal. Ia bertanya, namun hakikatnya protes, bentuk sikap reaksioner. Sang jenderal bereaksi sesaat, ingin bertahan dan membalas serangan, dibutuhkan senjata dan tentara.
===============
Mengapa guru?
Visi besar pemimpin hanya akan terwujud apabila ia menjadi visi bersama. Semua elemen harus berlari bersama, berpartisipasi, guna mempercepat tercapainya. Yang pertama dan utama harus dilakukan adalah mempersiapkan warga yang berkarakter (memiliki sikap mental positip) dan berkompeten (memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan).
Pembentukan karakter dan pembekalan kompetensi harus jelas dan terukur, mengikut visi yang ingin diwujudkan. Untuk tujuan itu, pemimpin membutuhkan lembaga yang terstruktur dan sistematis agar semuanya bergerak secara massiv.