Berbicara tentang rempah, bukan hanya seputar kuliner dan dapur saja yang dihidupinya. Pada warung makan Padang, masyarakat memburu santan dan bumbu gulai. Pada warung makan Tegal, masyarakat memburu oseng-oseng dan tumis-tumisan yang sarat akan bumbu dapur. Sama halnya dengan warung makan Sunda, warung makan Batak, warung makan Timuran atau Jawa Timuran, belum lagi warkop atau warung kopi; diminati pekerja-pekerja lepas dan anak muda yang mencari wedang jahe susu atau kopi tubruk jahe atau wedang sereh serta mie rebus lengkap dengan cabai dan bawang merahnya. Jika kita telusur lagi, Karedok dan Ketoprak serta Gado-Gado juga demikian, bumbu rempahlah yang menjadi permata dalam kuliner tersebut. Lagi-lagi rempah menjadi tonggak perekonomian masyarakat serta pengobatan masyarakat dalam bentuk panganan dan minuman.
Dalam dunia rokok, misalnya. Kretek dengan cengkeh yang terkadang dalam acara adat maupun spiritual ditambah dengan kemenyan atau gaharu, sehingga menghasilkan wewangian yang memabukan penghisapnya dan larut dalam ritual adat tersebut. Uniknya, pada masa sekarang terjadi pengembangan atas dunia rokok herbal. Penambahan cengkeh, kayu manis, irisan jahe dan kapulaga, dibenamkan berhari-hari dalam tembakau kering yang nantinya diolah jadi rokok tingwe dengan tingkat herbal yang sangat tinggi.
Kesejahteraan Masyarakat Lewat Rempah
Sesungguhnya "Kesejahteraan" bukan hanya kesejahteraan sosial atau perekonomian saja, namun luas seperti Kesejahteraan Lingkungan Hidup, Kesejahteraan Tubuh atau Tubuh yang Sehat dan Baik, lalu Kesejahteraan Budaya seperti kegiataan Agama dan Tradisi yang sejahtera dalam pelaksanaan dan kegiatannya. Karena kata "Kesejahteraan" bisa kita maknai sebagai Kelanggengan, Kelancaran, dan Kemudahan.
Dalam aspek kesehatan, misalnya. Banyak masyarakat yang mengobati sesak nafas atau depresinya dengan mengkonsumsi rokok kretek herbal karena merasa lega dan leluasa saat menarik nafas. Lalu sakit gigi serta pusing kepala yang diobati dengan mengunyah bawang putih. Ampasnya diletakan di gigi yang sakit, air liurnya ditelan untuk membantu pembersihan paru-paru karena mengandung antimikroba, atsiri yang terkandung pun merimbas pada penyembuhan pusing kepala. Pernah pada suatu perjalanan ekspedisi gunung di Banten, seorang teman mengunyah cengkeh yang kami temukan di hutan dengan alasan untuk menetralisir tubuhnya dari suhu dingin selama di pendakian. Sama halnya dengan pengobatan tradisional dengan ramuan Minyak Karo, dimana berbagai macam rempah-rempah dipanaskan dengan minyak goreng atau minyak kelapa sehingga menghasilkan minyak herbal, dan minyak ini banyak dipakai untuk luka tingkat berat maupun tingkat rendah.
Dalam aspek lingkungan hidup pun demikian. Rempah-rempah yang didominasi oleh antimikroba dan antioksidan, sering dijadikan biopestisida atau pestisida organic untuk melemahkan hama. Prinsipnya adalah Panas, Pahit, dan Bau. Seperti air rendaman bawang merah dan bawang putih dengan cabai yang dicampur sereh, lalu dicampur ampas kunyit dan ampas jahe, menghasil tiga prinsip diatas, lalu disemprotkan pada tanaman. Pestisida ini tidak mematikan, namun akan melemahkan hama. Berbeda dengan pestisida an-organik yang tak ramah alam, membunuh hama dan membunuh bakteri yang baik bagi tanaman, bahkan tanah pun menjadi kering beracun karena pestisida jenis ini. Begitu pun pada pupuk organic ramah alam, banyak rempah-rempah yang justru menjadi penguat dan nutrisi bagi tanaman-tanaman yang disiram dengan rendaman rempah-rempah. Sifatnya yang ramah alam, sangat jelas berguna untuk pelestarian lingkungan hidup.
Dalam aspek budaya dan kegiataan spiritual, tidak sedikit pelaku Kuda Lumping atau Jaran Kepang maupun ulama-ulama yang memakai wewangian seperti kemenyan dalam praktiknya. Wewangian rempah menghasilkan aroma yang harumnya tingkat tinggi, sehingga saat terhirup pelakunya akan sangat khusyuk dalam beribadah dan larut dalam kekusyukannya. Hal inilah yang menyebabkan para pelaku menembus "Dimensi Spiritual" dan terkadang tak sadarkan diri. Pernah pada suatu waktu di pagelaran wayang kontemporer, seorang teman memasang lidi yang ditancapkan bawang merah bawang putih serta membakar dupa di sekitar lokasi, yang ternyata ditujukan agar lokasi pagelaran menghasilkan wewangian. Hal ini bisa kita masukan ke dalam "pengetahuan tradisional berbasis rempah".
Pelestarian dan Pengembangan Rempah Lebih Mendalam
Dalam dunia modern, tiga konteks diatas sudah menembus lintas keilmuan, antara ilmu budaya, ilmu spiritual, ilmu antropologi, ilmu farmasi, dan ilmu sosiologi. Satu bahan yang masuk ke berbagai konteks keilmuan. Masih banyak lagi keilmuan yang harus ditelusuri dan digali mengenai rempah-rempah Nusantara, baik nilai-nilainya, rekam jejaknya, sejarahnya, fungsional maupun dampaknya, serta kontribusi besarnya dalam peradaban manusia Nusantara maupun manusia luar Nusantara.
Namun, semua itu tidak boleh hanya berkutat pada pengkajian dan penelusuran saja. Perlu adanya regenerasi pelaku dan pembudidaya rempah-rempah, sehingga ia terlestarikan diberbagai daerah di Indonesia dan selalu siap menjawab tantangan maupun kegelisahan masyarakat lintas zaman. Pelestarian rempah-rempah harus terus ditegakan di setiap provinsi di Indonesia, karena rempah adalah Identitas dan cirikhas Nusantara. Rempah mempertemukan dan menghubungkan komunikasi lintas provinsi, lintas kerajaan pada masa lampau.
Pengembangan rempah pun juga demikian. Baik secara panganan dan minuman, pengobatan modern maupun tradisional, gaya hidup sehat dan ramah alam pada masa lampau, semua keilmuan tersebut harus terus dikembangkan di tengah kemajuan zaman yang semakin penuh tantangan.