Sepuluh tahun setelah kematian sesepuh Ba Alawi, Utsman bin Jahja al Alawi, keturunannya segera menulis biografi. Buku berjudul Qamar al Zaman akhirnya terbit pada 1924, disusun oleh sang cucu yang bernama Syekh bin Alwi. Buku ini dicetak oleh Alwi bin Utsman, bapaknya Syekh, di percetakannya sendiri, peninggalan dari Utsman bin Jahja. Lokasi kantor ada di Kampung Petamburan.
Buku Qamar al Zaman inilah yang menjadi sumber utama, bagi berbagai kalangan, yang mengisahkan hidup Utsman bin Jahja. Kisah masa kecil hingga perjalanan mencari ilmu tergambar jelas dalam buku ini. Dan berikut nukilan terkait perjalanan Utsman bin Jahja dalam menimba ilmu, atau ngaji, yang ternyata sudah bertemu ulama dari banyak belahan dunia, khususnya wilayah arab dan sekitarnya.
1 Desember 1822, Utsman bin Jahja lahir di Pekojan, Batavia. Sejak usia 3 tahun sudah belajar pada kakeknya Abd al Rahman al Misri. Utsman belajar membaca Alquran, fikih, bahasa Arab, hadits dan tafsir.
Tahun 1840, saat berusia 18 tahun, Utsman pergi ke Mekkah untuk belajar ngaji. Katanya hingga 7 tahun. Rentang waktu ini, Utsmab melakukan perjalanan ngaji ke Madinah. lalu ngaji ke Mesir kurang lebih 8 bulan. Juga ngaji pada ulama di Tunisia dan berlanjut ke Aljazair. Katanya, Utsman juga belajar ngaji ke kota Fes di Maroko. Lalu tiga bulan lamanya, Utsman ngaji di Istanbul Turki. Juga ngaji ke ulama di Syria dan Palestina.
Tahun 1847, saat berusia 25 tahun, Utsman pergi ngaji ke kampung halaman di Hadramaut, Yaman Selatan. Tentu sekalian mudik. Hampir 20 tahun Utsman menetap dan ngaji di sini, termasuk berkeluarga, sebelum akhirnya kembali ke Batavia.
Tahun 1862, saat berusia 40 tahun, Utsman kembali ke Batavia lewat Singapura. Dengan bekal mengaji dari para ulama di sembilan negara, selama lebih dari 20 tahun, Utsman mulai mengajar ngaji di Batavia. Dimulai dari mengajar warga di kampungnya, lalu mengajar di Masjid Pekojan, menggantikan Haji Abd al Ghani Bima, yan mulai uzur. Berikutnya tokoh masyarakat bernama Haji Abd al Muin meminta Utsman mengajar ngaji di Masjid Pasar Senin di Kampung Besar.
Tahun 1875, atau setelah 13 tahun menjadi guru ngaji, Utsman mulai menggeluti teknologi percetakan litograf. Ia menjadi orang paling awal dalam dunia percetakan di seluruh kawasan jajahan Belanda di Nusantara. Dengan perangkat percetakan ini Utsman mulai menulis dan mencetak buku, lalu dijual, alias berdagang. Buku pertama yang ditulis dan dicetak sendiri oleh Utsman berjudul Pedoman Manasik Haji dan Umrah.
Buku panduan haji pertama, sudah ada pada rentang tahun 1438 di Mesir saat pemerintahan Sultan Mamluk. Buku manadik Utsman merupakan buku panduan cetak hitam putih dengan harga yang lebih murah. Buku ini berisi 40 halaman, ditulis dalam bahasa Melayu untuk melayani sejumlah besar jamaah haji Indonesia.
LWC van den Berg, sarjana belanda ahli Arab di Nusantara, menyebut sejak mengenal litograf dan menerbitkan buku manasik haji, Utsman sudah mulai berganti profesi sebagai pedagang dan berhenti sebagai guru ngaji. Maka berikutnya, aktivitas Utsman lebih banyak menulis dan mencetak buku, lebih khusus agar bisa menjangkau lingkaran pejabat pemerintah kolonial. Hal ini beralasan sebab ada keganjilan terhadap Utsman yang bisa mendapat akses menggunakan litograf, padahal ada dalam pengawasan pemerintah kolonial dan organisasi misionaris.
Nico JG Kaptein, Professor studi islam Universitas Leiden, menyebut keilmuan agama yang dikuasai Utsman tidak banyak. Cerita dalam biografi yang menyebut Utsman belajar ngaji ke banyak ulama hingga sembilan negara, hanyalah klaim yang tidak dapat dibuktikan. Nico juga menyebut bahwa pemikiran Utsman terhadap isu keagaman sebenarnya disandarkan dari himpunan fatwa dari Abdullah ibn Umar ibn Yahya, seorang ulama di Hadramaut.(*)