Kurun waktu 1822, tahun di Batavia lahir seorang sesepuh Ba Alawi yaitu Uthman bin Jahja al Alawi, Kesultanan Palembang ditaklukkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pertempuran sengit rakyat kesultanan dengan pasukan penjajah, berlangsung sekitar empat tahun, sejak 1818. Belanda dua kali kalah, sebelum akhirnya berhasil menaklukkan kesultanan, lewat serangan mendadak dan upaya pecah belah.
Istana kesultanan, masjid, dan bangunan di area keraton rusak akibat perang. Sultan Mahmud Badaruddin II, beserta keluarga termasuk penerusnya Ahmad Najamuddin III, ditangkap. Mereka lalu diasingkan ke Batavia (Jakarta) dan kembali diasingkan ke Ternate hingga akhir hayat. Kesultanan Palembang dihapus dan resmi menjadi wilayah jajahan Belanda, bagian dari Batavia.
Masjid Kesultanan yang rusak mulai dibangun, tapi segala aktivitas ibadah diawasi ketat. Belanda tidak ingin ada gerakan perlawanan yang bermula dari masjid. Masjid ini juga menjadi satu-satunya tempat menjalankan Shalat Jumat. Hingga sampai dengan tahun 1893, jumlah penduduk di sekitar masjid bertambah banyak, dan kapasitas masjid sebagai tempat shalat Jumat sudah tidak muat.
Gambaran suasana Masjid Kesultanan dan penduduk Palembang kala itu, bisa ditelusuri dalam pengantar kitab Shulh al-Jama'atain bi Jawaz Ta'addud al -Jum'atain karangan Syekh Ahmad Khatib Minang. Berikut gambarannya
... sebuah negeri yang besar yang menghimpun penduduk yang banyak. Di sana telah didirikan ibadah salat Jumat sejak sekian masa yang lalu. Di saat yang bersamaan, kian luaslah wilayah negeri itu, dan kian jauhlah batas antar kawasannya. Sebagian kawasan negeri berjarak lebih dari satu mil dari masjid utama negeri itu. Sebagian kawasan yang lainnya berjarak lebih kurang lebih sedikit dari itu. Sekiranya tidaklah dapat terdengar seruan Jumat. Di tempat-tempat yang luas itu. Sehingga, jarak yang jauh itu menjadikan sebahagian orang yang tinggalnya jauh tidak melaksanakan salat Jumat. Adakalanya karena mereka berhalangan hadir, atau karena memang tidak punya perhatian. Karena susah payah dan jauhnya jarak menuju ke masjid. Dalam beberapa tempo, masjid tersebut bahkan sudah tidak dapat lagi menampung jamaah, karena tempatnya yang memang sempit. Jika saja jamaah yang dekat dan jauh itu diperkirakan semuanya datang, maka tidaklah dapat masjid itu menampung mereka. Demikianlah sebagaimana halnya dikabarkan oleh orang-orang yang aku percayai...
Atas kondisi Masjid Kesultanan tersebut, seorang ulama Palembang bernama Kiagus Abdul Hamid Palembang mendirikan masjid baru. Salah satu fungsi utamanya sebagai tempat melaksanakan salat Jumat. Masjid baru itu berjarak satu mil, bahkan lebih, dari masjid lama (Masjid Kesultanan). Para penduduk di sekitar masjid baru itu pun akhirnya dapat melaksanakan sembahyang Jumat di sana, delapan bulan lamanya.
Keberadaan masjid baru dan sembahyang Jumatnya selama itu tidak mengganggu apa yang telah berlangsung di masjid lama, tidak pula mengurangi jamaahnya. Tapi Belanda rupanya sangat khawatir. Ia meminta seorang ulama di Batavia yang juga Penasihat Kehormatan urusan Arab dan juga sesepuh Ba Alawi, yakni Uthman bin Jahja untuk membuat fatwa terkait shalat Jumat di masjid baru Palembang itu.
Uthman bin Jahja pun kemudian merilis fatwa Bahwa Shalat Jumat di masjid baru Palembang itu tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan. Hal ini bisa diartikan sesepuh Ba Alawi itu melarang pelaksanaan Shalat Jumat di masjid baru. Alasannya di satu kota (Kampong atau Negeri) hanya boleh dilaksanakan Shalat Jumat di satu masjid saja. Di Palembang saat itu, sudah ada Masjid Kesultanan tempat dilaksanakannya Shalat Jumat.
Fatwa yang tertuang dalam kitab Jam` al-fawa'id mimma yata`allaqu bi-salat al-jum`a wal-masaj itu juga menyertakan gambar. Ada delapan model kota, kampung, atau negeri yang diperbolehkan memiliki dua masjid untuk shalat Jumat. Fatwa ini tentu menguntungkan Penjajah Belanda sebab lebih mudah pengawasan penduduk. Tetapi bagi masyarakat Palembang sangat merugikan dalam hal pelaksanaan ibadah salat Jumat.
Masyarakat Palembang tidak terima fatwa Uthman bin Jahja ini. Ulama setempat menilai Batavia tidak punya urusan atas masalah keagamaan di Palembang, sebab wilayah yang jauh terpisah. Para ulama Palembang kemudian berkirim surat kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Syaikh Ahmad membenarkan permintaan pendapat dari ulama Palembang itu, seperti tertuang dalam pengantar bukunya.
... Namun rupanya, pihak masjid tua mulai melakukan perkara. Mereka menganggap batal sembahyang Jumat yang dilakukan di masjid baru. Dengan berlandaskan pada sebuah fatwa sebahagian ulama. Yang tentu saja ulama itu berfatwa atas pesanan jamaah tersebut. Jawaban sang mufti tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ia telah menulis sebuah risalah. Yang keluar tanpa menimbang sebab akibat yang ditimbulkan olehnya. Jamaah masjid baru pun menjadi goncang...
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau berpandangan bahwa shalat Jumat di Masjid Baru Palembang sah dan boleh dilaksanakan. Sebab telah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Syaikh Ahmad Khatib juga menyertakan tiga risalah dari mufti Mekkah, mufti Madinah, dan ulama sentral Al Azhar di Kairo tentang permasalhan Shalat Jumat di Masjid Baru Palembang tersebut.