Lihat ke Halaman Asli

Iseng-Iseng Tengtang Presiden

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Revolusi ! Kata revolusi selalu mengingatkan “masa perubahan” pada tahun 1945, perubahan gelap menjadi terang, dijajah menjadi merdeka,  oleh karenanya tahun tahun terakhir menjelang dan sampai proklamasi kemerdekaan disebut  zaman revolusi. Dan ada pemimpinnya dengan predikat, Pemimpin Besar Revolusi (Bung Karno).  Kalau sepakat arti revolusi adalah perubahan, maka, masa-masa setelah itu dan sampai sekarang adalah zaman tidak ada perubahan.  Betulkah !? Dengan permainan kata : “perubahan adalah pergantian, ternyata pergantian bukan perubahan”. Karena sudah berganti-ganti Presiden, Indonesia tidak ada perubahan dalam perspektif adil dan sejahtera bagi rakyatnya. Betulkah !? Seolah dari Presiden ke Presiden yang baru hanya penyerahakan tongkat estafet dengan harus melewati garis lintasan yang sama.  Pendek kata lintasan(nya) “tidak berubah”. Cuma berbeda cara membawa tongkatnya, ada yang memegang dengan erat-erat , ada yang memegang dengan setengah erat setengah renggang, pokoknya sampai satu putaran periodenya.

Namun jangan dibalik, supaya ada perubahan harus revolusi tidak! kenapa tidak !?

Karena, revolusi adalah titik kulminasi, titik akhir dari yang terakhir, tidak ada jalan lagi, tidak ada pilihan. Kalau seseorang pemikirannya sudah pada puncaknya, maka apapun akan dikorbankan, demi satu tujuan, karena memang sudah tidak ada pilihan. Dan kalau itu terjadi semua yang dimiliki sudah tidak ada nilainya, bahkan jiwa dan nyawa pun sudah tidak bernilai, hanya satu yang dipikirkan nilainya yaitu,  “perubahan”. Maka tidak berlebihan kalau masa itu ada semboyan : MERDEKA  atau  MATI !!, kalau tidak (bisa) merdeka mendingan mati, atau biarlah banyak korban yang mati, asal merdeka.

Masih banyak jalan untuk perubahan, Indonesia harus berubah sesuai jati dirinya, kalau mempunyai jati diri burung Garuda dia akan berusaha terbang melayang setinggi mungkin, kalau jati dirinya burung emprit, ia hanya mencari kelompoknya untuk pindah kesana kemari, kalau kucing dia cukup bahagia dibelai pemiliknya, dan makan dengan apa yang yang didapat dan dikasihkan. Oleh sebab itu kalau Indonesia mau bangkit untuk perubahan, yang pertama harus tahu sejatinya atas “jati dirinya”. Tanpa mengetahui dengan kesadaran jati dirinya, seberapapun  usahanya akan bias, tidak terarah, akhirnya jalan ditempat,

Perubahan harus ada yang memimpin, pemimpin yang tahu dan mau mendengar aspirasi yang dipimpin, dan puncak tertinggi pemimpin adalah Presiden. Maka perubahan bangsa dan Negara di mulai dari Presidennya, apakah presidential atau parlementer, presidenlah tampuk pimpinannya. Lantas pemimpin yang bagaimana yang bisa mengantarkan perubahan perubahan untuk membawa rakyatnya lebih makmur, lebih sejahtera!?...”Inilah Iseng-Iseng tentang Presiden, tentang bagaimana seharusnya seorang Presiden,  bukan seharusnya bagaimana”

Kalau bicara “seharusnya”, berarti secara empirik sudah pernah dilakukan dengan tidak melakukan “keharusan”, dan apa yang dilakukan kurang berhasil dari sasaran dan tujuannya, atau ya begitu begitu saja hasilnya. Jadi kata seharusnya  mempunyai konskwensi menabrak kebiasaan, kebiasaan dari aturan main, kebiasaan menjalankan system, kebiasaan mengambil kebijakkan dllnya.

Oleh karenanya, kalau Presiden mau  berbuat “bagaimana seharusnya”, maka tabraklah kebiasaan-kebiasaan itu demi mewujudkan aspirasi aspirasi rakyat dan kesejahteraan rakyatnya, walaupun akhirnya akan merombak UU, Peraturan-peraturan, hukum-hukum yang ada.

Ini kalau memungkinkan, namanya iseng-iseng, kalau tidak mungkin anggap saja gagasan ini “khayalan”.

Jadi Presiden berevolusi pada dirinya sendiri, baik sebagai pribadi presiden, maupun sebagai pemimpin tertinggi Negara. “Jadilah Presiden yang revolusioner”.  Terus bagaimana? Tidak sulit! Sudah ada contohnya, contoh dari sejarah Nusantara, kejayaan Majapahit, pada pemerintahan Gusti Prabu Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada.

Intinya Presiden harus memposisikan diri sebagai Kepala Negara, tidak ada wakilnya. Karena tugas kepala Negara tidak bisa diwakilkan, dalam segala kondisi dan situasi. Sedangkan roda pemerintahan diangkat kepala pemerintahan, dan bertanggung jawab kepada kepala Negara. Kepala Negara memegang Kas Negara, semua pendapatan masuk kas negara bukan masuk ke kas pemerintahan.  Kepala Negara dan kepala pemerintahan, sudah melepas partainya, tidak terlibat langsung oleh partai, sudah tidak menjadi bagian dari salah satu partai, oleh karenanya kepala Negara dan kepala pemerintahan dimilikin dan menjadi rujukan semua partai yang ada dinegeri ini. Maka Kepala Negara hanya memonetor, mengawasi kerjanya kepala pemerintahan dan jajarannya, sehingga essensi sebagai pemimpin nomor satu Negara tampak jelas dan focus yaitu, mengamankan martabat bangsa dan negaranya, mengamankan harta kekayaan bangsa dan negaranya, mengamankan dan menyelamatkan bangsa dan negaranya.

Namun, mungkinkah itu semua dapat dilakukan!? Mengingat adanya dinding dinding UUD, UU, Peraturan dan system pemerintahan yang menjadi pedoman bagi penye-lenggara Negara selama ini !

Ya kalau tidak mungkin, anggap saja semua itu adalah “takhayul”….Cuma iseng-iseng saja !




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline