Bahasa dalam komunikasi menjadi salah satu dari sekian banyaknya komponen terpenting dalam unsur komunikasi, dimana ia menjadi peran sentral yang memiliki kekuatan yang mampu memengaruhi emosi, membangun citra merek, hingga memotivasi perilaku masyarakat. Bahasa juga kerap menjadi kunci bagi individu dalam memahami interaksi sosial di lingkungan. Dengan memahami berbagai bentuk dinamika interaksi manusia, tentu dapat memaksimalkan keefektifan komunikasi dan memperkuat hubungan antarindivididu dan kelompok dalam masyarakat karena jika kita dapat memanfaatkan bahasa sebagai elemen kunci, hal tersebut menjadi bentuk umpan balik yang baik untuk membangun komunikasi dan interaksi sosial yang kuat dan juga positif.
Dalam esai ini, penulis ingin lebih meninjau tentang bagaimana peran bahasa dalam melingkupi dunia periklanan melalui pendekatan Speech-Act Theory. Teori Speech-Art itu sendiri dikembangkan oleh John Searle, ia berfokus pada gagasan bahwa ketika seseorang berbicara, ia tidak hanya semata menyampaikan informasi akan tetapi juga melakukan tindakan dalam waktu yang sama. Tindakan yang dimaksud oleh Searle ini dapat berupa banyak hal, misalnya seperti pernyataan, janji, atau permintaan. Adapun yang dalam konteks pembahasan kali ini, iklan kerap kali menerapkan Act yang dimaksud menjadi sebuah ajakan atau permintaan, seperti membeli produk atau menggunakan jasa yang mereka tawarkan.
Speech-Act Theory mengelompokkan tindakan bahasa menjadi tiga jenis yaitu, (1) Locutionary Force yang merujuk pada nilai atau makna dalam bahasa, (2) Illocutionary Force yang merujuk pada fungsi atau implikasi pembicara terhadap bahasa, dan (3) Perlucotionary Force yang merujuk kepada efek yang dihasilkan/dirasakan oleh pendengar. Dalam dunia Advertising, teori ini menggunakan tindak tutur seperti dibawah ini:
- Constantives, yaitu jenis tindak tutur yang mengungkapkan fakta atau data yang ada seperti perkataan “Produk ini terbuat 100% dari bahan alami”.
- Performatives, yaitu jenis tindak tutur yang digunakan untuk mengubah keadaan secara tidak langsung seperti perkataan “Discount 40% Only For Today!”.
- Representatives, yaitu tindak tutur yang diungkapkan untuk memberikan keyakinan atau pandangan kepada konsumen seperti perkataan “Produk ini yang terbaik! Telah dibeli oleh 10.000 lebih orang!”
- Directives, yaitu jenis tindak tutur yang digunakan untuk memerintah atau memberi saran, seperti “Cobalah produk ini dan rasakan manfaatnya dalam 2 minggu”
- Commisives, yaitu jenis tindak tutur yang berbentuk seperti janji atau komitmen kepada konsumen seperti “Garansi 1 tahun untuk unit ini, 100% Kembali”
- Expressives, yaitu tindak tutur yang digunakan untuk mengungkapkan emosi atau perasaan seperti “Kami senang dapat menyajikan produk berkualitas kepada anda”
- Declaration, yaitu jenis tindak tutur yang digunakan dengan tujuan untuk mengubah keadaan atau situasi, seperti “Dengan pemakaian produk ini, sakit anda akan berkurang dan hidup anda akan terasa lebih sehat dan nyaman”
Berdasarkan tindak tutur diatas, dapat dikatakan bahwa penggunaan Speect-Act Theory ini dapat memperkuat kredibilitas suatu merek dalam dunia advertising atau periklanan, misal dengan menggunakan representatives untuk mengungkapkan keyakinan atau pandangan yang menjadi citra merek mereka yang positif, atau juga dengan menggunakan performatives untuk mengubah keadaan dengan tindakan persuasif.
Menurut Jennifer L. Aaker dalam artikelnya yaitu “The Power of Emotional Advertising”, dalam mencapai tujuannya, periklanan seringkali menggunakan bahasa sebagai pembangun emosi dan juga dengan tujuan menciptakan hubungan emosional antara merek dan konsumen. Disini dapat terlihat ketika iklan menggunakan tatanan bahasa yang dapat menyentuh emosi audiens atau konsumen seperti melibatkan kata kebahagiaan, kesedihan, kisah nyata maupun cinta dengan maksud menciptakan koneksi yang lebih dalam dengan konsumen. Begitu juga penelitian yang telah dilakukan di bidang periklanan yang telah mengklaim mengenai besarnya pengaruh bahasa dalam mempengaruhi konsumen, studi yang dilakukan oleh Smith dan DeCoster pada tahun 2000 menunjukkan bahwa bagaimana bahasa dapat mempengaruhi evaluasi produk, citra produk hingga niat pembelian konsumen atau intensi konsumen0terhadap0produk atau jasa yang0mereka tawarkan. Dalam penelitiannya, Smith menemukan bahwa bahasa yang positif dan bersifat persuasif terbukti dapat meningkatkan pembelian produk dan atensi masyarakat terhadap barang atau jasa yang mereka tawarkan.
Selain penggunaan bahasa yang menyentuh, periklanan juga melakukan pemilihan kata dalam penyampaian demi mencapai tujuan komunikatif yang menguntungkan mereka dan dapat mencapai target konsumen. Seperti yang dikatakan dalam artikel milik Angela Goddard yang berjudul “The Languange of Advertising” yang menyoroti bahwa pemilihan kata yang tepat sangat mempengaruhi interpretasi dan persepsi konsumen terhadap produk atau brand. Misalnya, penggunaan kata “Luxury” pada produk yang mereka pajang di etalase untuk menggambarkan value produk mereka yang pada akhirnya menciptakan asosiasi positif pada konsumen.
Menelaah dari artikel yang dirilis oleh Bob M. Fennis dalam artikelnya yaitu “The Psychology of Advertising”, selain penggunaan bahasa yang menyentuh dan pemilihan kata, perilaku konsumen juga ternyata dapat terpengaruh akibat periklanan sebagai bentuk mekanisme psikologis uang terdampak setelah persuasi seperti klaim keunggulan produk.
Selain itu, teori ini juga mengemukakan bahwa untuk melakukan komunikasi atau bahasa antara dua pihak, harus ada penerimaan antara pendengar dan pembicara yang berakhir pada penerimaan asumsi tertentu dari tindakan bahasa tersebut yang disebut sebagai Felicity Conditions yang terbagi menjadi tiga kategori yaitu, (1) Essential Conditions, yang berkaitan dengan kebenaran akan pernyataan, (2) Sincerity Conditions, yaitu yang berkaitan dengan nita pembicara dalam melakukan tindakan dari bahasa yang telah diucapkan, dan (3) Preparatory Conditions yaitu berkaitan dengan kondisi yang harus dipenuhi sebelum melakukan kelanjutan dari tindakan bahasa itu sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa korelasi antara teori Speech-Art dan bahasa dalam lingkup Advertising tidak hanya sebagai pemberi informasi, tetapi menjadi berbagai macam tujuan yang berujung pada lahirnya banyaknya interpretasi dan persepsi yang ditimbulkan dari pembuat iklan kepada konsumen dengan tujuan keuntungan atau profit karena dalam periklanan sendiri terkandung banyaknya tindakan persuasif terhadap konsumen. Selain itu, asumsi salah mengenai bahasa yang mungkin bagi pandangan sebagian orang hanya memiliki makna ‘hanya kata-kata’, karena dapat dilihat bagaimana bahasa atau suatu ucapan sangat berarti dan mempengaruhi bagaimana pola berfikir seseorang. Dalam periklanan, bahasa bukan hanya sebagai alat untuk berkomunikasi, akan tetapi menjadi alat yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat atau konsumen lewat kata, emosi, persepsi bahkan perilaku.
Referensi
Kusmiani, Tuty. (2020). Tindak Tutur dalam Iklan Produk Makanan dan Minuman di Televisi. Jurnal BIDAR. Volume 10 No.01
Hanna, Nader. (2019). Speech Act Theory as an Evaluation Tool for Human-Agent Communication. Journal Algorithms.
Utami, Rizka. (2022). Bahasa dalam Konteks Sosial (Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur). Jurnal JUMPER. Volume 1
Peregrin, Jaroslav. (2012). Linguistic and Philosophy.
Green, Mitchell. (2021). Speech Acts. The Stanford Encyclopedia of Philosophy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H