Lihat ke Halaman Asli

Budaya Literasi Film dan Pendidikan

Diperbarui: 18 Maret 2017   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sungguh gembira hati menyaksikan gagasan yang disampaikan Mendikbud, Bapak Muhadjir Effendy pada koran Kompas tanggal 21 Februari 2017. Bahkan beberapa hari gagasan itu santer dilontarkan kepada masyarakat melalui media. 

Gagasan itu cukup penting di tengah derasnya arus masuknya budaya barat dalam tatanan masyarakat kita. Inti gagasan beliau adalah ingin membangun literasi film nasional untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat pada produk-produk sinema buatan dalam negeri. Langkahnya dengan memperkenalkan film Indonesia kepada anak-anak di sekolah. Secara simplisit gagasan itu merupakan upaya memperkuat budaya bangsa di tengah gempuran agresi budaya asing.

Lihatlah serbuan budaya Korea di ibu pertiwi. Gelombang korea menimbulkan para remaja dan anak-anak mengalami demam Korea. Apa pun akan dilakukan para K-Popers demi melihat tayangan Korea. Tambah media televisi mengamini. Masih ingat goyangan lagu Gangnam style. Ya lagu K-Pop itu menggoyang dunia termasuk Indonesia pada tahun 2012. Tarian “menunggang kuda” menjadi khas. 

Ditirukan oleh anak-anak, remaja, dan bahkan orang dewasa. Lebih seru lagi ada boy band dan girl band serta drama Korea yang telah mewabah budaya di Indonesia. Apa pun akan dilakukan para K-Popers untuk menikmati sajian Korea. Bahkan seri film, tokoh film, lagu, hingga kehidupan pribadi artis Korea menjadi konsumsi pembicaraan di kalangan remaja. Boleh dikata, agresi budaya Korea merauk keberhasilan di negara tercinta. Ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, hembusan budaya Korea juga mendongkrak produk-produk mereka pula.

Bicara Anime atau film kartun Jepang, memang tidak asing lagi di kalangan remaja. Secara intens, aku mendengar cerita dari murid-muridku tentang serial anime. Bahkan mereka tahu berbagai serial anime yang terbaru. 

Bak kacang yang dijual di pinggir jalan, laris manis anime itu. Manga atau komik jepang menjadi poin pertama yang banyak dicari kawula muda. Bahkan ada pagelaran costplay (kostum Jepang). Secara tersirat, bangsa kita tengah menghadapi arus deras agresi budaya dari luar negeri. Ada kekhawatiran dalam benakku tentang potensi degradasi jati diri bangsa.

Pernah suatu saat aku mengikuti obrolan remaja tentang film. Dalam obrolan itu, aku sempat kaget hingga rambutku hampir berdiri. Aku diceritakan secara lancar tentang salah satu anime Jepang yang sudah diadaptasi menjadi film live aksi di bioskop. Hebatnya malah aku diberikan kumpulan serinya. Lengkap sekali anak ini seru dalam batinku. 

Bahkan aku dipanggil sensei (guru). Istilah yang tidak aku pahami. Ya aku hanya tersenyum saja. Tidak kalah menarik, di suatu waktu pernah aku pula terlibat dalam aktivitas anak-anak. Obrolan hangat terjalin antara satu sama lain bahkan seru sangat. Beberapa artis korea muncul dalam obrolan seru itu. Bahkan kapan dan dimana konsernya mereka pun tahu. Mengapa sejauh ini sepertinya tidak muncul obrolan tentang aksara jawa, Damarwulan, Joko tingkir, dsb? Mengapa obrolan itu hanya ada dalam pelajaran. Bahkan obrolan mereka semakin asyik membicarakan film Hary potter dengan berbagai serinya.

Agresi budaya asing melalui berbagai pernak perniknya merupakan ancaman bagi jati diri bangsa. Lima, sepuluh, bahkan ganti generasi kekhawatiran kehilangan jati diri sebuah keniscayaan jika tidak ada upaya pembinaan dari pemangku kekuasaan. Film merupakan pertunjukan audio visual yang menghadirkan lengkap cerita beserta aspek sosial budayanya. Adat, tradisi, pakaian, tingkah laku, dan gaya hidup ada di situ. Maka dari itu gagasan Pak Menteri bagai mata air yang memberikan kesejukan budaya.

Perkuat budaya nasional

Era teknologi informasi, era digital, ‘peperangan budaya’ sedang terjadi. Sekat-sekat batas teritorial dan budaya seakan sudah tipis. Kecanggihan teknologi seperti internet telah membuat produk budaya dari suatu negara mudah diakses. Ya kita hidup dalam budaya multikulturalisme. Hal inilah yang perlu kita antipasi jangan sampai “peperangan budaya’ melunturkan budaya bangsa. Oleh karena itu perlu strategi untuk memperkuat budaya nasional dengan membangun literasi film nasional berlatar budaya daerah di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline