Lihat ke Halaman Asli

Cendrawasih

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanah Papua, Tanah Leluhur,

Surga kecil jatuh ke Bumi…

Demikian tulis Franky Sahilatua dalam syair lagunya Aku Papua yang didendangkan Edo Kondologit. Tanah Papua memang laksana surga kecil yang jatuh ke bumi. Keindahan alamnya sungguh memukau mata. Laut, danau, dan sungainya tampak membetang elok menyimpan beragam jenis ikan. Gunung dan bukitnya berdiri kokoh menjulang mengandung berjuta tembaga dan emas. Hutan rimbanya maha luas menaungi berjuta spesies flora dan fauna unik. Salah satunya adalah cenderawasih, burung surga (bird of paradise).

Lalu, sadar atau tidak, setiap kita yang mengaku anak-anak yang lahir dari rahim Papua, selalu berdecak kagum bangga setiap kali mendengar nama cenderawasih. Burung yang memiliki bulu-bulu sangat indah layaknya bidadari turun dari surga ini telah menjadi ikon Papua, menjadi lambang kebanggaan kita. Mengagumi cenderawasih sama halnya menyanjung nama Papua. Sebab burung ini memang hanya terdapat di Indonesia Timur dan terbanyak di Papua, selain Papua Nugini, dan Australia timur.

Cenderawasih terdiri atas 14 genus dengan 43 spesies. Sekitar 30-an spesies di antaranya bisa ditemukan di Papua. Bulu-bulunya yang halus panjang beraneka warna seperti hitam, cokelat, kemerahan, oranye, kuning, putih, biru, hijau dan ungu. Postur fisiknya pun beragam. Mulai dari 15 cm berbobot 50 gram seperti pada jenis Cenderawasih Raja (Cicinnurus regius), hingga yang memiliki panjang 110 cm dengan berat mencapai 430 gram seperti pada Cenderawasih Manukod Jambul (Manucodia comrii).

Tetapi mengapa hingga hari ini masyarakat Papua percaya bahwa cenderawasih adalah burung titisan bidadari dari surga? Apakah karena nama cenderawasih secara etimologis dalam bahasa Inggris merujuk pada kata “paradise” yang bersinonim dengan surga atau firdaus?

Belum ada penelitian tentang penamaan ini oleh para antropolog maupun ilmuwan biologi. Barangkali, tingkah genetik si cenderawasih yang jarang turun ke tanah dan hanya berada di dedahanan pohon lantaran bulu-bulunya yang indah membuat masyarakat Papua mengenalnya sebagai burung cantik tanpa kaki. Cenderawasih tampil sebagai burung ‘elitis’ mirip bidadari dalam kayangan dibanding burung lain. Ia sangat menjaga tubuhnya dan bulu-bulunya.

Kendati demikian, julukan Tanah Papua sebagai “surga kecil yang jatuh ke bumi” itu, tidak semata-mata karena di nusa luas nan elok ini hidup dan berkembang burung cenderawasih. Saya yakin, tanpa cenderawasih pun, Papua tetaplah surga bagi siapapun yang pernah berkunjung dan tinggal. Surga dimaksud tak dipahami secara teologis Kristiani sebagai tempat berkumpulnya roh-roh manusia yang semasa hidup di dunia berbuat kebajikan. Surga (Sanskerta: Svarga, Arab: Jannah) atau Firdaus (Arab: فردوس atau Persia Kuno: pairidaeza) yang dikandung Papua itu melekat secara sosio-antropologis.

Surga Papua adalah sebuah kondisi terberi (anugerah) yang melekat sejak pengembaraan manusia Melanesia dan menempati wilayah Kepala Burung hingga pantai Utara Jayapura. Surga Papua itu ada dalam kandungan potensi alam yang kaya raya, yang kini menjadi harapan masa depan Indonesia dan dunia. Tetapi terutama, Surga Papua itu ada dalam hati setiap manusia yang mencintai damai, yang diberkahi tatanan adat istiadat nan elok mulia, yang menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun, yang selalu membuka hatinya kepada setiap orang yang datang.

Ada tatapan wajah-wajah polos anak-anak di balik bukit dan lembah ngarai yang berlari mengejar helikopter di tanah lapang menunggu gurunya tiba dan mengajar mereka seperti dalam film Denias, Senandung di Atas Awan. Ada senyum tulus mama-mama Papua yang dengan beban noken menyusuri jalan setapak menuju pasar untuk berjualan demi sekolah anak-anaknya. Adatelapak tangan legam lelaki yang berburu babi dan kuskus untuk menyambung hidup keluarganya. Dan surga Papua itu ada di dalam hati dan karya semua pemimpin yang mau mengangkat rakyat Papua dari lembah sengsara menuju sejahtera.

Sayang sekali, surga Papua itu kian hari kian tergerus manusia. Kekayaan alam Papua dirusak dan dieksploitasi berlebih hingga hilang indah dan isinya. Kesenjangan sosial ekonomi menimbulkan aneka gejolak, pemberontakan dan pertumpahan darah. Transmigrasi dan perjumpaan budaya membuat nilai-nilai asali luhur budaya dan keramahan manusia Papua luntur. Miras dan narkoba yang dipasok kapitalis membuat generasi muda Papua rusak akhlak. Dan paling parah, uang dan egoisme kepentingan membuat banyak pemimpin di atas Tanah Terberkati belum memenuhi janji mewujudkan surga (baca: kesejahteraan dan kemakmuran) bagi rakyatnya.

Maka, bersama burung cenderawasih, si burung surga yang kian hari kian punah populasinya dari waktu ke waktu, kita generasi Papua pun sedang merindukan suasana surga Papua bagai dulu. Sebelum kicauan merdu cendrawasih itu tinggal kenangan dan kita sepakat menyelamatkannya, seperti itu pula kita yang berkehendak baik harus menjaga dan mewariskan ‘surga kehidupan’ di Tanah Papua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline