"Mbaaak..... Pintunya kebuka tuh, tutupin dong..."
Kalimat itu meluncur dari mulut seorang anak berusia sekitar 11 tahun, sebut saja Nabil. Saat itu Nabil sedang duduk di teras, dekat dengan pintu gerbang yang ia maksud. Si Mbak yang dimaksud langsung datang dari arah belakang, dari dapur kemudian memenuhi permintaan Nabil. Setelah selesai, ia langsung kembali ke dapur, melanjutkan pekerjaannya.
Di kesempatan lain, Nabil meminta si Mbak mengambilkan tas sekolahnya di kamar. Selain itu, ia juga kerap meminta si Mbak membuatkan mie instan di kala hujan. Begitulah, hampir di setiap aktivitasnya, Nabil tidak bisa lepas dari si Mbak. Bukan "tidak bisa lepas" dalam pengertian afektif, tapi dalam pengertian kurang (untuk tidak menyebut "tidak") mandiri.
Nabil, seperti mungkin juga kita atau orang-orang lain yang sudah terbiasa dengan kehadiran pembantu di rumahnya, sudah terbiasa untuk meminta pembantu mereka melakukan hal-hal yang sebetulnya mereka sendiri masih sanggup dan masih memiliki kelapangan waktu untuk mengerjakannya. Padahal kalau kita melihat asal katanya, "pembantu" berasal dari awalan "pe-" yang artinya "orang yang memiliki pekerjaan / yang melakukan perbuatan" dan kata dasar "bantu". Seperti yang kita sama-sama tahu, "bantu" hanya dilakukan ketika kita sudah kewalahan, atau kalau meminjam bahasa orang Inggris--overwhelmed.
Belum lagi, untuk para pembantu yang tinggal satu atap dengan majikannya, maka seolah-olah waktu kerjanya adalah 24 jam. Ada beberapa kerabat saya yang bekerja menjadi pembantu rumah tangga, dan ya, beliau-beliau menceritakan bahwa ketika di larut malam sekalipun, pembantu-pembantu harus siap siaga. Poin saya sebetulnya begini, jika karyawan kantoran saja begitu perhitungan dengan jam kerja mereka, dan jika sudah lewat mereka pasti mencatat untuk meminta jatah uang lembur, mengapakah PRT seperti tidak memiliki batas waktu kerja yang jelas dan (mungkin) jatah uang lembur yang jelas? Ke mana juga jaminan kesehatan yang seperti dimiliki para karyawan di perusahaan besar?
Berikut adalah sebagian perlakuan yang dituntunkan Islam tentang bagaimana memperlakukan pembantu. Namun saya rasa, tidak ada ruginya jika tuntunan ini diterapkan oleh majikan-majikan non muslim pula.
- Tidak membebani dengan beban pekerjaan di luar kemampuannya.
- Tidak memaki jika ia berbuat kesalahan / memecahkan barang.
- Menyegerakan membayar upahnya ("sebelum keringatnya kering")
- Membayar upah sesuai kesepakatan yang disetujui kedua pihak.
- Tidak kasar / main tangan.
- Memerhatikan kebutuhannya.
Khusus di bagian "Memerhatikan Kebutuhannya", Rasulullah sendiri bahkan sempat mencarikan isteri bagi pembantunya yang bernama Rabi'ah bin Ka'ab al-Aslami. Mungkin ada sebagian Anda yang kemudian berpikir, "Lho kok di Saudi begini... Di Kuwait begitu..." Islam itu bukan Arab. Meskipun betul, Islam didakwahkan pertama kali di Jazirah Arab. Kalaulah Islam itu bagian dari budaya Arab, seharusnya di awal dakwah Islam tak akan ada penentang-penentang dari kalangan Arab Quraisy.
Jadi, seperti yang saya tulis di awal tadi. Sekali lagi, pembantu tugasnya hanya membantu lho ya, hehehe... Sekali sekali dengarkanlah curhat mereka... Ada lagu yang judulnya Mars Pembantu kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H