Lihat ke Halaman Asli

Yustimas

Work for home

Oh Kanada, Oh Indonesia...

Diperbarui: 18 Maret 2016   16:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kabinet Kanada. Sumber: newsweek.com"][/caption]Pembaca Kompasiana, akhirnya bisa menulis lagi setelah masa tahanan rumah akhirnya selesai. Makna atau arti dari tahanan rumah itu sendiri kalau di sini artinya semua pekerjaan dan laporan sudah kelar.

Kebetulan tugas laporan aset dan keseragaman budaya kali ini (yang di berikan oleh Bapak Dubes) adalah negara Kanada. Bicara Negara Kanada, bulan Juni tahun ini ada acara Komunitas Independen Mahasiswa Amerika Eropa yang dihelat dan diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Pendidikan setempat yang tujuannya untuk meningkatkan mutu sistem pendidikan bagi generasi mendatang.

Bicara soal Kanada, Oh.. What a Cabinet!!

Menteri Kesehatannya adalah seorang doktor dan profesor besar di 3 universitas ternama di dunia. Menteri Transportasinya adalah seorang astronot yang menyandang 4 gelar sarjana tingkat atas. Menteri Pertahanan Negaranya adalah seorang veteran yang telah bertugas di 29 negara. Menteri Pemudanya bahkan belum mencapai usia 40 tahun. Menteri Agrikulturnya dulunya adalah seorang petani sukses yang menyumbang hampir 80% dari kebutuhan pangan negara. Menteri Inovasi & Pengembangan Ekonominya adalah seorang pakar ekonomi yang memiliki 6 perusahaan besar di Eropa dan Amerika. Menteri Keuangannya adalah seorang pengusaha paling sukses di negaranya. Menteri Keadilan adalah mantan Kepala Peradilan Eropa. Menteri Olahraga adalah bekas seorang juara dunia Paralympian dengan koleksi 18 medali emas dari berbagai macam ajang kejuaraan. Menteri Kelautan dan Maritim adalah seorang coastguard yang telah mengabdi selama hampir 35 tahun. Menteri Risetnya adalah seorang medical geographer dengan 4 gelar PHD dalam bidang science. Menteri Imigrasi adalah seorang yang telah memperjuangkan hak hak asasi kaum pengungsi selama 20 tahun terakhir, dan sisa pejabat di pemerintahan, 50% adalah wanita.

Langsung terbayang dalam benak saya jika seandainya, hanya seandainya, Indonesia mau memulangkan orang orang jenius nan sukses yang selama ini telah di sia-siakan. Jika saya boleh membuat sebuah catatan kecil, maka pilihan saya tidak akan jauh jauh dari:

March Boedihardjo sebagai Menteri Pendidikan

March Boedihardjo mencatatkan diri sebagai mahasiswa termuda di Universitas Baptist Hong Kong atau HKBU. March akan memiliki gelar sarjana sains ilmu matematika sekaligus master filosofi matematika. Karena keistimewaannya itu, perguruan tinggi tersebut menyusun kurikulum khusus untuknya dengan jangka waktu penyelesaian lima tahun yang dimulai sejak 2007.

March memang menempuh pendidikan menengah di Inggris. Hebatnya, dia masuk dalam kelas akselerasi, sehingga hanya perlu waktu dua tahun menjalani pendidikan setingkat SMA. Hasilnya, dia mendapat dua nilai A untuk pelajaran matematika dan B untuk statistik. Dia juga berhasil menembus Advanced Extension Awards atau AEA dimana ujian yang hanya bisa diikuti sepuluh persen pelajar yang menempati peringkat teratas A-level. Dia lulus dengan predikat memuaskan. Dalam sejarah AEA, hanya seperempat peserta AEA yang bisa mendapat status tersebut.

Prof Nelson Tansu sebagai Menteri Kesehatan

Pria kelahiran 20 Oktober 1977 ini adalah seorang jenius, seorang pakar teknologi nano. Fokusnya pada bidang eksperimen mengenai semikonduktor berstruktur nano. Teknologi nano adalah kunci bagi perkembangan sains & rekayasa masa depan. Inovasi inovasi teknologi Amerika yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari seluruh orang di dunia ini bertopang pada anak anak muda brilian semacam Nelson. Nelson mampu memberdayakan sinar laser dengan listrik superhemat. Sinar laser biasanya membutuhkan listrik 100 watt dan di tangannya hanya perlu 1,5 watt.

Penemuan penemuannya bisa membuat lebih murah banyak hal. Tak mengherankan bila pada Mei lalu, di usia yang belum 32 tahun, Nelson diangkat sebagai profesor di Universitas Lehigh. Itu pun setelah ia memecahkan rekor menjadi asisten profesor termuda sepanjang sejarah pantai timur di Amerika. Ia menjadi asisten profesor pada usia 25 tahun. Sebelumnya, Linus Pauling, penerima Nobel Kimia pada 1954, menjadi asisten profesor pada usia 26 tahun. Mudah bagi Nelson bila ingin menjadi warga negara Amerika. Amerika pasti menyambutnya dengan tangan terbuka. Namun Tidak demikian, Hatinya tetap melekat dengan Indonesia, katanya kepada Tempo. Nelson bercerita, sampai kini ia getol merekrut mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan riset S2 dan S3 di Lehigh. Ia masih memiliki ambisi untuk kembali ke Indonesia & menjadikan universitas di Indonesia sebagai universitas papan atas di Asia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline