Kemudahan belanja online hanya dengan sekali klik membuat konsumen semakin "sulit" menahan keinginan untuk membeli barang yang mungkin tidak mereka butuhkan.
Bagi generasi milenial dan Generasi Z yang tumbuh di era digital, godaan ini semakin besar.
Salah satu fenomena konsumsi yang menjadi perhatian adalah doom spending, yaitu kebiasaan belanja impulsif untuk meredakan stres atau kecemasan, terutama saat merasa pesimis terhadap kondisi ekonomi atau masa depan.
Fenomena ini pertama kali dibahas oleh Bruce Y. Lee, seorang Profesor Kebijakan dan Manajemen Kesehatan dari City University of New York, yang menyebutkan bahwa doom spending sering terjadi di Amerika Serikat ketika seseorang merasa tertekan oleh faktor-faktor seperti kekacauan politik, perubahan iklim, dan kondisi global lainnya (sumber: detik.com, 2024).
Pada dasarnya, orang yang terjebak dalam doom spending menggunakan belanja sebagai pelarian dari perasaan ketidakpastian, meskipun perilaku ini sering kali justru memperparah masalah keuangan pribadi mereka.
Di Indonesia, fenomena ini juga menarik perhatian para pakar. Riza Wahyuni, psikolog dari Universitas 17 Agustus Surabaya, menyebutkan bahwa doom spending bukan hanya masalah belanja, tetapi berdampak besar pada kesehatan mental. "Ketika utang semakin menumpuk, tagihan terus masuk, dan sulit dibayar, mereka menjadi tertekan, rentan terhadap depresi, bahkan berpikir untuk mengakhiri hidup sebagai jalan keluar," ungkap Riza (sumber: 30/9/2024).
Demikian juga, Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., psikolog dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa orang yang melakukan doom spending biasanya sedang mengalami stres, kecemasan, kebosanan, atau kesepian (sumber: republika.co.id, 2024). Menurut survei di laman Psychology Today tahun 2023, doom spending lebih umum terjadi pada generasi milenial (43%) dan Gen Z (35%).
Menerapkan Filosofi "Eling lan Waspodo" untuk Mengatasi Doom Spending
Meluasnya fenomena doom spending jelas menjadi masalah serius yang perlu diatasi agar lebih banyak orang terhindar dari dampak finansial dan psikologis yang merugikan.
Dalam konteks ini, kita dapat mengambil inspirasi dari filosofi Jawa, yaitu "eling lan waspodo" atau "ingat dan waspada." Filosofi ini mengajarkan kesadaran diri dan kewaspadaan dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.