"Lebih baik beliau marah-marah, karena lebih berbahaya orang Jawa bila diam." -- kutipan dalam Buku Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya.
Baru-baru ini, istilah "Raja Jawa" mencuri perhatian publik setelah dilontarkan oleh Bahlil Lahadalia dalam Musyawarah Nasional (Munas) XI Partai Golkar di JCC, Jakarta, pada 21 Agustus 2024 (Tempo.co, 2024).
Istilah ini memicu gelombang reaksi---kecaman, kontra, kritik, dan koreksi---yang memenuhi headline media-media nasional.
Perdebatan ini menggambarkan sensitivitas istilah tersebut dan bagaimana sejarah serta budaya dapat menjadi bahan diskursus politik yang kompleks.
Jejak Sejarah di Balik Istilah 'Raja Jawa'
Istilah "Raja Jawa" memiliki akar historis yang mendalam, seperti yang tercatat dalam kitab-kitab lama seperti Pararaton dan Negarakertagama.
Tokoh-tokoh seperti Ken Angrok, Airlangga, Brawijaya, Raden Fatah, Sultan Hadiwijaya, dan Sultan Agung adalah contoh pemimpin bersejarah yang termaktub dalam kedua kitab tersebut.
Mereka mencerminkan kepemimpinan dan kebijaksanaan yang membentuk sejarah Jawa.