"Itulah suatu hal tentang buku. Mereka membiarkanmu bepergian tanpa menggerakkan kakimu." - Jhumpa Lahiri
Buku konon adalah salah satu sumber ilmu paling otoritatif di dunia. Tahun 1956 dibuatlah Dartmouth Conference, atau sederhananya konferensi yang membahas tentang Artificial Intelligence (AI).
Praktis, perlahan namun pasti, mengelupas eksistensi buku sebagai sumber paling utama dalam proses belajar mengajar dan mengendorse AI sebagai sumber alternatif.
Hingga kini, AI telah berkembang biak menjadi empat kategori utama seperti Reactive Machines, Limited Memory, Theory of Mind, dan Self-awareness.
Itu baru awalan sepertinya; sudah banyak laporan tentang penelitian-penelitian tentang pengembangan AI dalam bidang-bidang kehidupan sehari-hari.
Buku hampir tak punya sedikitpun kecanggihan-kecanggihan futuristik yang dimiliki oleh AI. Sekali ketik, info yang dibutuhkan muncul, cepat, tepat, dan disertai referensi; benar-benar revolusi informasi yang mengguncang jagad keilmuan dunia.
Lalu apa gunanya buku sekarang?
"Tak ada gading yang tak retak," demikian kata pepatah lama, atau satu lagi mungkin ya "kesempurnaan hanya milik Tuhan." Demikianlah kalimat-kalimat yang digunakan sebagai alat untuk bersembunyi atas ketidakmampuan kita; maaf, saya koreksi sebenarnya bukan tidak mampu, tapi belum "mau" saja mengikuti arus zaman yang sedang dalam cengkraman sebuah produk sejarah teknologi bernama AI.
Buku hari ini sudah kehilangan tempatnya di rak-rak pikiran manusia kebanyakan; itu fakta!
Sungguh menyusahkan sekali jika kita mau tahu obat flu yang kandungan obatnya paling bagus harus jauh-jauh ke perpustakaan atau ke toko buku untuk tahu informasi itu, tidak efektif dan berbiaya tinggi.