Lihat ke Halaman Asli

Agung Santoso

Peneliti isu - isu kemanusiaan.

Bahaya Laten Greenwashing

Diperbarui: 6 Juli 2024   00:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: www.forestdigest.com

"Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran," - Goebbels.

 

Era modern yang ditopang oleh ekosistem digital menjadi lahan subur bagi tumbuhnya post-truth, atau pasca-kebenaran, yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. 

Menurut Kamus Oxford, "post-truth" berarti situasi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi. 

Dalam dunia post-truth, fakta menjadi kurang penting dibandingkan dengan perasaan dan keyakinan pribadi, yang sering kali lebih memengaruhi pembentukan opini.

Bahaya Greenwashing

Istilah greenwashing sudah dikenal sejak tahun 1980-an, diperkenalkan oleh aktivis lingkungan Jay Westerveld. 

Westerveld mengkritik kampanye "save the towel" yang dilakukan oleh banyak hotel, yang hanya mengajak tamu untuk menggunakan handuk lebih dari sekali dengan dalih menghemat air dan energi. 

Ironisnya, meskipun hotel-hotel tersebut mengklaim peduli lingkungan, banyak limbah masih ditemukan di seluruh area hotel. Westerveld menegaskan bahwa kampanye ini sebenarnya hanya strategi untuk mengurangi biaya operasional dan mencoba memperoleh simpati publik dengan citra ramah lingkungan yang palsu (Lindungihutan.com, 2024).

Menurut Will Kenton (2020), greenwashing adalah proses penyampaian pesan palsu atau memberikan informasi yang menyesatkan tentang produk seolah-olah lebih ramah lingkungan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline