Polusi Udara Tengah menjadi pembicaraan hangat selama sebulan terakhir.
Mulai dari mencari biang kerok penyebab polusi, aturan ASN untuk WFH, berbagai penyakit akibat polusi, bahkan solusi hujan buatan untuk mengatasi parahnya kualitas udara di titik-titik kritis di Indonesia.
Hujan buatan di gadang-gadang menjadi solusi nyata yang dapat mengendalikan buruknya kualitas udara di titik-titik kritis di Indonesia.
Hujan buatan atau Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sebenarnya telah ada sejak zaman Presiden Soeharto. Gagasan mengenai modifikasi cuaca, yang juga dikenal sebagai hujan buatan, muncul ketika Presiden Soeharto tertarik pada pertanian di Thailand yang maju. Hal ini diduga karena kebutuhan air untuk suplai pertanian dapat dicukupi dengan teknologi modifikasi cuaca (www.kompas.com, 2023).
Kemudian pada tahun 1985, UPT Hujan Buatan didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) nomor 342/KA/BPPT/XII/1985.
Pada tahun 2015, istilah teknologi modifikasi cuaca mulai digunakan sesuai dengan Peraturan Kepala BPPT 10/2015 yang mengubah nama UPT Hujan Buatan menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca.
Tahun 2021, setelah terintegrasi ke dalam BRIN, layanan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) kini diselenggarakan di Laboratorium Pengelolaan TMC yang berada di bawah naungan Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset, dan Kawasan Sains dan Teknologi.
Kini, hujan buatan mendadak dibutuhkan lagi namun bukan untuk pertanian melainkan untuk keberlangsungan kehidupan. Hampir semua kepala bersepakat bahwa hujan buatan adalah solusi tepat untuk menjinakkan polusi udara yang kian mengganas.
Di balik positifnya kepercayaan publik tentang "Hujan Buatan" ternyata ada sisi gelap yang juga harus kita waspadai Bersama.
Mengutip www.rimbakita.com (2013) muncul beberapa catatan penting yang harus ditimbang ulang jika menjadikan hujan buatan sebagai solusi atas polusi dalam jangka Panjang.