Kuliner dengan sensasi pedas tengah digandrungi masyarakat, terutama kawula muda yang sedang asik-asiknya mengeksplorasi ragam makanan yang memanjakan lidah sekaligus dapat menjadi konten unggahan pada jejaring sosial media mereka.
Sebut saja Rawon setan, seblak ndower, Mie Iblis, Pecel Gondoruwo, dan sejenisnya; istilah seram tersebut dikonotasikan untuk menggambarkan sensasi "pedas" pada makanan yang disajikan. Dari kesemua makanan yang disebutkan, tampaknya seblak menjadi top of mind.
Survei yang dilakukan oleh JakPat tentang Camilan Paling Banyak Dipesan Lewat Pesan Antar Makanan Online (Mei 2021) dilakukan kepada 1.624 responden yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia, menyebutkan bahwa lebih dari 60% memilih martabak.
Kemudian Seblak berada pada urutan kedua dengan 43%, diikuti oleh roti bakar 41%, sementara siomay 39%, ayam krispi 34%, dan sandwich 34%.
Kepopuleran seblak menyimpan sebuah misteri yang hingga saat ini belum terpecahkan.
Bagaimana asal muasal makanan seblak? Kemudian mengapa makanan pedas gurih ini mampu tetap eksis dalam kancah kuliner hingga hari ini? Mari kita telusuri lebih dalam.
Kata 'seblak' memiliki arti yang mencerminkan rasa makanannya. Menurut Kamus Basa Sunda yang disusun oleh R. Satjadibrata, istilah 'seblak' berasal dari kata 'nyeblak', yang menggambarkan perasaan tidak menyenangkan atau kekesalan di hati, mirip dengan sensasi tersengat.
Kata 'seblak' sendiri merupakan kombinasi dari 'segak' dan 'nyegak', yang berasal dari bahasa Sunda, yang berarti 'menyengat'.
Biasanya, rasa seblak ditandai oleh penggunaan bahan cikur atau kencur, yang memberikan aroma segar dan efek menyengat pada makanan ini. Jadi, ciri khas dari seblak adalah rasa kencur yang terdapat dalam bumbunya.
Jika dirunut sejarahnya, seblak tidak ada dalam catatan makanan legendaris manapun, bahkan pada resep-resep kuno pun tak ada.