Lihat ke Halaman Asli

Masad Masrur

Mahasiswa Pasca Sarjana USAHID JAKARTA

Konflik Pembahasan RUU Cipta Kerja dalam Perspektif Marx

Diperbarui: 11 Juli 2021   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Masad Masrur

Marx menyebutkan bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat, yang adalah para pekerja dan buruh, didasarkan adanya kepentingan-kepentingan yang bertujuan untuk mempertahankan status atau kelas. Konflik menurut Marx juga berkaitan dengan kaum industrialis dan kaum pekerja. 

Meskipun dalam perspektif hubungan industrial, pemerintah memiliki peran yang besar dan lebih menentukan dan mempengaruhi bentuk dan proses hubungan industrial tri-partit (tri-partism), namun negara dalam melalui norma hukum yang diciptakannya, tetap saja dilihat sebagai alat penindasan yang menguntungkan salah satu pihak.

Para demonstran menganggap bahwa sebagian besar substansi RUU Cipta Kerja hanya menguntungkan para investor dibanding para pekerja. Dengan adanyaa UU Cipta Kerja, akan banyak UMKM yang bertebaran karena akses dan ijin usaha yang dipermudah, sehingga kaum kapitalis akan bermunculan. 

Adanya aturan tentang UMR (Upah Minimum Regional) juga secara tidak langsung memberikan kebebasan bagi para pengusaha atau kaum industrialis dalam memberikan hak-hak para pekerja. Hal ini dianggap semakin membuat para pekerja tidak mendapatkan keadilan. Jam kerja yang tidak sesuai, juga dianggap makin tidak menyejahterakan para kaum pekerja. Hal ini membuktikan bahwa aturan yang telah disahkan dapat menunjang sistem prekonomian dan pembangunan namun tidak menjamin kesejateraaan para pekerja.

Pandangan kelompok penolak RUU Cipta Kerja yang “sejalan” dengan perspektir Marx, tentu ditanggapi berbeda oleh pemerintah. Dalam perspektif hubungan industrial, peran pemerintah bersifat langsung dan tidak langsung dan dilakukan melalui; pertama, fungsi kebijakan, baik yang langsung mengatur hubungan industrial; kedua, fungsi pembinaan, pengendalian dan pengawasan dalam pelaksanaan hubungan industrial; ketiga, fungsi pelayanan dalam pelaksanaan hubungan industrial. 

Melihat peran ini, maka pengajuan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah, dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan atas hubungan industrial. Fungsi pembinaan, pengendalian dan pengawasan dalam pelaksanaan, serta fungsi pelayanan dalam pelaksanaan hubungan industrial, adalah fungsi pemerintah yang sangat sentral dalam struktur negara, (Kartawijaya, 2018).

Tidak seperti perspektif Marx yang melihat masalah buruh dan majikan ini dari sudut pandang sosial-ekonomi, dalam perspektif hubungan industrial, hubungan antara pekerja dan pengusaha bukan merupakan masalah yang berdiri sendiri karena dipengaruhi oleh masalah lain, seperti ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sehingga perlu adanya campur tangan pemerintah. (Widodo dan Judiantoro, 1992). Menurut Ardana, Mujiati, dan Utama, (2012), pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan yang menciptakan harmoni, ketenangan bekerja dan ketenangan berusaha (industrial peace).

Pendekatan ini berusaha mencari solusi untung sama untung bagi semua pihak. Yaitu Hubungan Industrial Pancasila yaitu hubungan antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah dalam praktek perburuhan yang didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945. Hubungan ini didukung oleh 3 (tiga) pilar yaitu rasa memiliki, rasa mempertahankan, dan rasa toleransi, yang didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945. (Ardana, Mujiati, Utama, 2012).

Namun demikian, perpektif pemerintah tersebut, dianggap tidak dapat dibuktikan. Salah satu opini penolakan RUU Cipta Kerja adalah terdapat resentralisme kewenangan yang dinilai mencederai semangat reformasi. Beberapa argumen resentralisme dimaksud diantaranya, pertama, ada kurang lebih 460 PP (Peraturan Pemerintah) yang harus dibuat oleh Pemerintah Pusat sebagai bentuk pengaturan lebih lanjut dari RUU Cipta Kerja; kedua, beberapa kewenangan DPR dialihkan menjadi kewenangan eksekutif terkait izin pemanfaatan kawasan hutan; ketiga, pasal 402A RUU Cipta Kerja memerintahkan bahwa lampiran UU 23/2014 Tentang Pemerintah Daerah harus dimaknai sesuai dengan ketentuan RUU Cipta Kerja; keempat, pasal 174 RUU Cipta Kerja menegaskan kewenangan Menteri, Kepala Lembaga, atau Pemerintah Daerah harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden, (detik.com, 28/1/2021).

Sentralisasi ini pula yang dalam perspektif Marx makin memperkukuh paksaan (coercion) dalam wujud hukum melalui pemeliharaan lembaga-lembaga sosial, antara pihak yang berkuasa denga pihak yang dikuasai. Kecurigaan inilah yang akhirnya menguat dan memperparah hubungan antara masyarakat penolak RUU Cipta Kerja sehingga menimbulkan aksi kekerasan di berbagai daerah yang menimbulkan banyak kerugian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline