Lihat ke Halaman Asli

Masad Masrur

Mahasiswa Pasca Sarjana USAHID JAKARTA

Perspektif Habermas dalam Konflik Cipta Kerja

Diperbarui: 7 Juli 2021   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Masad Masrur

Menengok kasus kekerasan yang terjadi pada berbagai unjukrasa menolak RUU Cipta Kerja, perlu dilihat pandangan beberapa ilmuwan yang telah mengemukakan beberapa teori. 

Jurgen Habermas khususnya, mengakui bahwa konflik adalah sesuatu yang inheren dalam sistem masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari hubungan kekuasaan dalam sistem sosial dan sifat kekuasaan yang mendominasi. 

Habermas adalah sosiolog bermadzab kritis, (Zuldin, 2019) yang berpandangan bahwa sosiolog berkewajiban moral melakukan kritik atas dominasi penguasa terhadap masyarakat dalam struktur sosial. Teori kritis merupakan emansipasi yang berusaha membebaskan masyarakat struktur sosial yang menindas.

Habermas menganalisis kondisi dari dominasi struktural. Kelompok penguasa mengarahkan berbagai bentuk kebijakan pada orang lain di luar wewenang dan kekuasaannya. Kondisi ini merupakan bentuk dominasi. 

Habermas melihat komunikasi yang dihasilkan dari kondisi ini selalu memuat kepentingan penguasa untuk menundukkan yang disebut Habermas dengan komunikasi instrumental. Komunikasi instrumental hanya memberi peluang pada pemilik kekuasaan, dan tidak akan menciptakan kesepahaman (mutual understanding), (Habermas, 1998).

Habermas memperlihatkan bagaimana kesadaran instrumental menciptakan model komunikasi yang sifatnya mengusai. Birokrasi modern adalah struktur negara yang menggunakan kesadaran dan komunikasi instrumental. 

Kondisi inilah yang menyebabkan ketertindasan masyarakat dalam bentuk ketidakmampuan mengeluarkan pendapat mengenai keinginan dan harapan mereka. Negara dan birokrasinya menutup ruang pendapat masyarakat (public sphere) melalui kontrol keamanan dan kebijakan-kebijakan lain. 

Ketertutupan ruang publik bisa mengakibatkan frustasi, dan bentuk kekerasan dalam perlawanan politik. Untuk itu Habermas mengajukan kondisi ini atau komunikasi instrumental diubah menjadi komunikasi intersubjektif. Komunikasi intersubjektif ini membuka ruang-ruang dialog yang bebas dari dominasi penguasa. 

Para penguasa yang melegitimasi wewenang dan kebijakan harus bersedia menggunakan komunikasi yang setara dan terbuka sehingga dapat menghindari konflik antara pengambil keputusan dan masyarakat biasa, (Zuldin, 2019).

Ketertutupan ruang publik dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, sejak awal memang menjadi keluhan utama. Masyarakat menganggap ada kesusahan dalam mendapatkan informasi perkembangan serta isi dari RUU Cipta Kerja. Pelaksanaan UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menjamin hak memperoleh informasi, tidak dilaksanakan secara maksimal, sehingga mengakibatkan frustasi, dan bentuk kekerasan dalam perlawanan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline