Lihat ke Halaman Asli

Mohammad Masad Masrur

Mahasiswa Pascasarjana USAHID

Don Quixote de la Mancha

Diperbarui: 19 Februari 2017   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi anda yang gila membaca buku, anda harus berhati-hati. Bisa jadi, ketika anda sedang merasa frustasi dengan keadaan anda, dan melampiaskannya dengan membaca buku: anda akan memaksakan bacaan-bacaan anda menjadi realitas yang konyol. Tetapi jangan salah, jika ingin mengubah “dunia”, upaya itu harus kita mulai dengan mengubah pikiran sendiri: bagaimana kita mengubah pikiran kita dengan membaca.

Ketika traveling dengan Jakarta Islamic Center (JIC) ke Eropa beberapa waktu yang lalu, saya dan rombongan, mampir ke Kota Bussels Belgia. Tidak banyak yang saya ketahui tentang Belgia kecuali komik Tintin. Tetapi, ketika pandangan saya terbentur pada sebuah patung ksatria penunggang kuda disertai budak pengirinnya yang cebol di belakangnya, saya langsug menebak: itu Don Quixote de la Mancha dan budak pengiringnya, Sancho Panza.

Nama Don Quixote, sering ditulis sebagai contoh “pahlawan kesiangan” oleh media-media massa yang ingin menggambarkan seorang yang melawan keburukan sendirian. Misalnya pejabat yang mengaku tengah berjuang sendirian melawan institusi pemerintahan yang korup, tetapi ia justru dianggap tengah berkhayal karena kemampuannya yang kecil tidak akan mampu mengimbangi kekuatan institusi tersebut yang besar.

Awalnya saya tidak paham betul dengan dengan media yang membandingkan Don Quixote dengan pejabat tersebut, tetapi, ketika saya mendapatkan film tentang Don Quixote de la Mancha, saya mulai sedikit paham. Film yang dari awal sampai akhir membuat saya tertawa ngakak itu, menggambarkan betapa Don Quixote de la Mancha mampu menyihir semua orang untuk percaya terhadap seluruh imajinasinya. Ia berimaji sebagai seorang Don (ksatria) yang menumpas kejahatan yang terjadi di negerinya, atas sikap sikap kesatria yang selalu ia perlihatkan dan saking hebat pengabdiannya melawan kejahatan itu, ia akhirnya benar-benar mendapat gelar Don dari kerajaan. Padahal, kejahatan-kejahatan itu adalah hasil imajinasinya yang membuat para bangsawan kerajaan terpesona kepadanya. Luar biasa.

Don Quixote de la Mancha sebenarnya diceritakan oleh Miguel de Cervantes dalam sebuah novel. Novel ini merupakan karya yang menarik, bahkan menjadi bacaan wajib bagi para mahasiswa sastra dan bagi para komunitas sastra di Eropa. Buku ini masuk dalam jajaran 100 buku terbaik dunia yang pernah diterbitkan. 

Miguel de Cervantes lahir pada 9 Oktober 1547, merupakan putra dari ahli fisika dan apoteker. Keluarganya mengalami masalah ekonomi yang cukup pelik, namun berangsur membaik setelah pindah ke Madrid pada 1566. Pertama menulis pada umur 21 tahun, menulis beberapa ayat tentang kematian Isabel de Valois, istri dari Philip II, karya yang cukup diperhatikan pada masa itu. “Don Quixote de La Manca” pertama terbit pada 1605, kemudian mendapatkan sukses yang luar biasa dan para kritikus buku mengatakan bahwa buku ini melebihi batas luar biasa. Pada 23 April 1616, Miguel de Carvantes meninggal. Kesedihan yang mendalam bagi dunia sastra pada saat itu.

Cervantes sendiri adalah seorang petualang buku, berbagai buku telah dilahap habis. Ia menguasai bacaan latin klasik, mendalami bacaan sejarah berbagai bangsa, buku filsafat dan retorika dikuasainya dan tidak ketinggalan buku-buku teologi, geografi dan astrologi. Pengetahuan yang dimiliki Cervantes keluar begitu saja ketika ia menghidupkan tokoh Don Quixote, itulah sebabnya Don Quixote bisa bicara panjang lebar tentang Amadis de Gaul yang merupakan kisah kepahlawanan favorit Don Quixote sebagai teladan bagi para ksatria pada zaman itu.

Seperti judulnya, tokoh utama dalam kisah ini adalah Don Quixote, seorang yang amat sangat gila baca. Bagi Don Quixote, realitas terjadi saat imajinasinya “bermain” dalam dunia buku. Hanya realitas yang bisa melawan dan menggugurkan pikiran. Tapi dalam “Don Quixote de La Mancha” yang terjadi justru sebaliknya, realitaslah yang harus tunduk pada bacaannya, realitas harus mengalah pada imajinasi. Karikatur kegilaan seorang pembaca, menurut realitas Don Quixote itu kehilangan akal, tapi menurut bacaan dan karena bacaan, ia justru memperoleh akal, bahkan kepercayaan. 

Kesukaannya dalam membaca kisah-kisah Amadis de Gaul membuat dia mengkonsepkan dirinya (dalam pikirannya) sebagai seorang ksatria abad pertengahan, pikiran ini yang kemudian menjadi realita bagi dirinya membuat ia mengubah namanya menjadi lebih “berkelas” namanya yang hanya Don Quixote (ada beberapa opini yang mengatakan Cervantes mengambil nama “Quixote” dari “Quixada atau Quesada”) kemudian ditambahkan menjadi Don Quixote de La Mancha dapat diartikan sebagai “Tuan Quixote, sang penguasa La Mancha” cukup terdengar gentleman bagi seorang warga biasa.

Nama sudah didapatkan, dan peralatan perang sudah lengkap untuk dipakai (jubah, perisai, tombak dan kuda milik keluarga yang dicuri), maka yang dibutuhkan sebagai seorang ksatria adalah seorang lady. Masalahnya kebiasaan Don Quixote larut dalam dunia baca membuatnya jarang bergaul dan tidak punya teman, sehingga dibuatlah seorang lady dalam alam pikirannya, seorang lady yang tercantik, heavenly type yang bernama Lady Dulcinia de Toboso.

Kehadiran seorang budak yang setia menemani Don Quixote yang bernama Sancho Panza, yang pandir lugu, yang setia menemani kemanapun tuannya berkelana, menambah kelengkapan Don Quixote sebagai seorang ksatria.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline