Lihat ke Halaman Asli

Kita, Para Penyembah Waktu

Diperbarui: 10 Maret 2017   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: topsy.one

Siang ini saya memelototi laptop untuk hal-hal yang sebenarnya sedang berkecamuk dalam pikiran saya. Semuanya tentang deadline, kejar tayang dan segala rupa yang berhubungan dengan waktu.

Pagi, minimal pukul 4 dini hari saya harus sudah bangun, menyiapkan segala keperluan sekolah anak-anak sebelum kami berangkat kerja.

Meski tempat kerja hanya selemparan batu, saya merasa gaya hidup saya benar-benar terpenjara oleh manajemen waktu yang tak bersahabat. Dan hampir di segala lini kehidupan, manusia menggunakan waktu dengan cara yang sama; serba tergesa-gesa, pingin cepat ini, lekas itu dan semua syahwat kehidupan berdesakan ingin didahulukan.

Di dunia pendidikan yang saya cumbui setiap hari, fenomena ini nampak berseliweran mengganggu pikiran. Sejujurnya saya prihatin melihat anak-anak “dipaksa” belajar  dari pagi hingga sore. Belum lagi saat di rumah mereka akan dituntut belajar lagi oleh orang tuanya. Mereka, sudah diperlakukan seperti mesin sedari kecil. Mereka tak punya waktu cukup  untuk sekadar bermain. Bahkan, bisa jadi saat di rumah kita tak ada waktu bercengkrama, mengajak mereka bergurau melepas rutinitas. Atau kita memilih tidur cepat demi pekerjaan esok hari, dan meninggalkan anak-anak dengan mainannya. Ah, betapa kejamnya kita.

Dan ternyata bukan cuma pola pendidikan dan cara hidup kita yang ingin serba simpel, cepat dan buru-buru. Lihat saja di beberapa gerai buku, begitu berjubel buku tuntunan praktis “Mencetak Uang dari Rumah “ Belajar Super Cepat Bahasa Asing”, atau “ Cukup Tiga Jam Bisa Baca Qur’an”, “Beli Properti Tanpa Utang”, dan masih banyak lagi buku-buku yang mengindikasikan kita sebagai penyembah waktu dan pemuja materi.

Gaya hidup cepat dan buru-buru memang benar-benar telah mengepung. Kita lebih punya waktu hangout, makan di restoran fastfood lengkap dengan berbagai layanan instannya daripada makan bareng keluarga di rumah. Tak jarang kita bertengkar hebat dengan istri karena dering telpon tak segera diangkat. Atau bahkan sepasang sejoli bisa memutuskan hubungan hanya karena balasan pesan pendek yang telat. Kebiasaan berebut antri yang buruk hampir kita jumpai di semua ruang publik. Ironisnya, tak jarang ketidak disiplinan dalam mengantre berakibat fatal berupa kematian akibat berdesakan dan terinjak sia-sia. Juga bagaimana kedunguan kita saat berkendara. Hampir di setiap trafic light, kita mengumpat saat lampu merah menyala dan memaksanya berubah hijau dengan klakson yang kita bunyikan. Bunyi klakson yang justru mematikan nalar sehat kita. Belum lagi tabungan dan giro dengan kelengkapan kartu ajaibnya hingga bisa bertransaksi tanpa harus bersentuhan dengan tanah. Bagaimana dengan koleksi dan pundi-pundi materi yang lain? Berapa banyak koleksi rumah dan mungkin juga tempat ibadah yang dibangun hanya sebagai terminal ? Kita singgahi sejenak merebahkan waktu untuk kemudian kembali pergi demi menyembah waktu dan memuja syahwat.

Saya, dan juga anda, mungkin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ritual gila menyembah waktu. Dengan segala ketergesaannya, kita seperti tak bisa hidup dan beraktifitas tanpa gawai di tangan, berkumpul tapi ngobrol sendiri dengan orang di seberang sana dan tak bisa makan jenak karena dikejar kesibukan.

Saya, mungkin sedang cemburu dengan saudara-saudara saya di pedesaan yang bisa hidup sak madya, menjalani hidup penuh kesederhanaan, guyup rukun dengan segala keterbatasan dan tidak pernah merasa dikejar waktu.

Tiba-tiba saya merindukan kehidupan bersahaja orang-orang dahulu  yang jauh dari hiruk pikuk dan ketergesaan dalam menjalani kehidupan. Hidup dengan segala keterbatasan tak membuatnya hina. Bekerja dan berkarya merupakan tanggungjawab hidup yang dijalani tanpa mengenal pamrih dan berharap jasa. Mereka lebih bisa menjalani hidup dan merawat kehidupan sebagai harmoni yang indah tanpa merasa dikejar waktu.

Saya hanya rindu dan cemburu, tapi tak pernah punya waktu untuk berguru, atau saya termasuk penyembah waktu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline