Lihat ke Halaman Asli

Sang Pembunuh

Diperbarui: 6 Maret 2017   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Eross sengaja tak segera pulang walau jam di kantornya telah menunjukkan pukul 17.00.  Sore itu ia langsung menuju rumah Farid, teman lamanya. Ada yang ingin ia dengar dari sejawatnya itu, tentang WIL ayahnya yang sering dipergoki di kedai kopi kawasan Seturan, Jogja, tempat Farid bekerja. Kecurigaannya selama ini akhirnya terbukti. Ia juga menemukan alasan, mengapa ibunya selalu bertengkar hebat dengan ayahnya sebulan terakhir. Kali ini ia ingin membuktikan langsung, di mana ayahnya menghabiskan uang dan kehidupan malamnya selama ini.

“ Kau yakin, orang yang kau maksud itu ayahku?”, tanya Eross menahan geram setelah mendengar cerita Farid panjang lebar .

“ Kau buktikan saja sendiri. Kau bisa lihat sendiri nanti”, jawab Farid demi meyakinkan Eross yang nampak merah padam raut mukanya.

“ Ok kalau gitu”, jawab Eross antusias, seperti nggak sabar hendak melabrak ayahnya dan perempuan jalang yang telah meremukkan hati ibunya.

“ Tapi ingat! Jangan ada keributan. Kau cukup tau saja”. Demikian pesan Farid mengingatkan Eross.

Eross tak menjawab. Emosinya yang sudah sampai umbun-umbun luluh manakala mengingat ketegaran ibunya menghadapi persoalan ini dan harapannya bisa kembali akur dengan sang ayah.

Sampai di kafe, Eross mengambil tempat duduk paling pojok dan sedikit terlindungi oleh pengunjung yang lain. Dengan sedikit penyamaran dan sorot lampu temaram, ia yakin ayahnya nggak akan mengenalinya. Sementara itu, Farid di kejauhan dengan lantunan lagu-lagu koleksi Frans Sinatra, mampu membius pengunjung dan menyeret pengunjung kafe dalam romantisme lagu itu.

Malam sudah demikian larut, sementara penantian Eross tak kunjung tiba.  Ia pun beranjak menghampiri Farid yang sedang rehat.

“ Mungkin aku harus pulang dulu”, ujar Eross sedikit kesal.

“ Apa tidak kau tunggu satu dua jam lagi?”, cegah Farid meyakinkan Eross, bahwa lelaki yang ditunggu itu pasti akan muncul malam itu.

Benar kata Farid. Selang seperempat jam, seorang perempuan belia bergelayut manja mengandeng pria yang lebih pantas menjadi ayahnya. Eross segera sembunyi di balik tubuh Farid sembari mengendap endap mencari tempat duduk yang aman . Di tengah temaram lampu kafe, Eross bisa melihat dengan jelas sosok pria perlente setengah baya yang tak lain ayahnya sendiri. Sayang, ia tak bisa melihat raut wajah perempuan muda itu. Hanya punggungnya yang nampak menggoda dibiarkan menganga oleh balutan gaun malam yang wah. Eross terus saja menatap tak berkedip dan berharap perempuan muda itu menoleh barang sejenak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline