Lihat ke Halaman Asli

Pelajaran Itu Ada di Pasar

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu jam 03.00 WIB, ketika pintu rumahku (tepatnya rumah mertuaku) diketuk oleh seseorang sembari memanggil – manggil namaku,”mas…mas…muatan sudah siap”. Ya, di pagi buta itu aku harus bangun pagi – pagi untuk mengantar tetanggaku ke pasar membawa dagangannya. Walau rasa kantuk masih setia bergelayut di mataku, aku harus menghalaunya pergi untuk sebuah kesanggupan. Aku memang sudah sanggup untuk mengantarkan tetanggaku membawa dagangannya ke pasar. Biasanya tetanggaku membawa kendaraan sendiri, tetapi karena baru saja mengalami kecelakaan dan kendaraannya harus masuk bengkel, maka dia memintaku untuk mengantarkannya. Awalnya aku agak keberatan, karena aku harus bangun antara jam 01.00 – 03.00 pagi. Dimana pada jam – jam seperti itu sedang nikmat – nikmatnya merinda mimpi. Akan tetapi aku harus merelakan mimpi – mimpi indahku berakhir seiring ketukan pada pintu demi beberapa lembar uang ribuan sebagai balas jasa mengantarkan dagangan tetanggaku itu. Begitulah rutinitas yang aku jalani dari profesi sambilanku.

Dari profesi sambilanku ini, ternyata tidak hanya sekedar uang tambahan yang aku dapat, tetapi lebih dari itu banyak sekali pelajaran dan pengalaman yang aku dapatkan. Mulai dari aktifitas para pedagang sayuran dengan segala dinamikanya sampai proses jual beli sayuran pun aku jadi tahu. Tidak hanya itu, aku juga banyak mendapat kenalan baru sesama sopir angkutan sayur dan juga para pedagang sayur yang memanfaatkan jasa angkutanku. Tidak jarang ada beberapa sopir yang menyindirku karena tahu tentang pekerjaan utamaku. Tapi aku cuek saja yang penting halal dan tidak mengganggu pekerjaan utamaku. Pada saat – saat tertentu, aku juga ikutan mencari penumpang di kampung – kampung. Di daerahku masih banyak orang yang mau naik mobil bak terbuka untuk menuju ke pasar. Alasannya karena mudah, murah dan tidak ribet bila sambil membawa hasil bumi. Tetapi tidak sedikti dari mereka yang memang sangaja menggunakan jasa angkutan ini untuk menuju ke pasar walau tidak membawa hasil bumi. Dari sinilah aku juga bisa mendapat pelajaran hidup yang luar biasa.

Beberapa kali aku mendapat penumpang seorang ibu dengan anaknya yang masih kecil. Dilihat dari pakaian dan penampilannya nampak kalau dia orang yang tidak punya. Hal ini juga aku buktikan dengan beberapa kali naik kendaraanku dia berlalu begitu saja tanpa membayar sepeserpun seperti kebanyakan penumpang pada umumnya. Melihat kondisinya yang demikian aku tidak tega untuk sekedar mengingatkannya siapa tahu dia lupa. Akan tetapi ternyata setiap kali naik kendaraanku dia memang begitu tidak bayar. Aku pun memakluminya. Apalagi setelah aku berbincang dengan sesama sopir ternyata memang sudah menjadi kebiasaannya kalau naik kendaraan tidak bayar. Aku tetap berprasangka baik kepada ibu tadi, mungkin karena kondisilah yang memaksa dia begitu. Suatu ketika aku lebih miris melihat ibu dan anaknya tersebut. Aku melihat langsung ketika dia mengais – ngais tumpukan sampah sayuran sambil menggendong anaknya yang masih balita. Dia memisahkan beberapa sayuran yang dianggap masih cukup layak. Ditengah – tengah asyiknya memilih sayuran itu aku malihat anaknya yang kecil memegang sebatang wortel dan memakannya dengan lahapnya. Mungkin juga wortel itu dia dapat dari sampah tersebut. Selanjutnya, sayuran – sayuran yang dikumpulkannya tadi ternyata dicuci bersih dan kemudian ditatanya dalam sebuah keranjang kecil untuk dijajakan keliling pasar. Dan dengan kuasa Ilahi, ternyata sayuran itupun laku dijualnya.

Pembaca yang budiman, mungkin perilaku seperti diatas banyak kita temukan di kota – kota besar. Atau bahkan ada yang menganggap biasa seperti itu. Tapi bagiku itu luar biasa. Betapa tidak, dia yang tidak punya modal, yang tidak punya ketrampilan, masih punya keyakinan untuk sekedar menjemput rejeki di pasar walau harus menggadaikan rasa malu yang ia punyai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline