Empat laga PSSI pasca pembekuan memperemukan sepak bola Indonesia dengan sepak bola se kawasannya, yaitu Asia Tenggara. Lantas apa yang Anda lihat dan saksikan serta bisa simpulkan? Di mana posisi kita di situ? Apakah perkembangan sepak bola kita lebih maju, sebanding, atau justru malah tertinggal? Pengamatan yang jujur dan kepedulian yang tinggi utamanya dari pemangku kepentingan dalam persepakbolaan amat diperlukan untuk kemajuan prestasi Indonesia yang sangat didambakan masyarakat yang sudah dahagakannya terlalu lama.
Kalau kita lihat dari hasil-hasil pertandingannya semata, di mana Indonesia berhasil mengalahkan Malaysia dengan 3-0 dan menahan imbang Vietnam 2-2, kemudian pada laga tandang menahan imbang (lagi) Myanmar 0-0 serta terkini kalah menyesakkan dari Vietnam 2-3; maka kita bisa saja mengatakan it's still OK, tidak ada masalah berarti dengan sepak bola Indonesia, dan semua on track.
Tetapi betulkah seperti itu keadaan sebenarnya? Bisakah kita melihat kualitas permainan hanya dari skor pertandingannya saja? Tentu tidak. Terjadinya gol dan terciptanya skor akhir bisa berasal dari berbagai faktor, yang bisa saja tidak mencerminkan mutu permainan sepak bola Indonesia yang bisa menjanjikan konsistensi raihan prestasi serupa ke depannya. Dalam konteks itu misalnya bisakah kita menjamin akan selalu menemui blunder pemain bertahan lawan sehingga kita bisa mencetak gol layaknya kita buat dalam laga persahabatan kontra Malaysia? Bisakah kita menjadi juara jika asyik bermain seri saja dengan lawan-lawannya?
Sudah sering kita dengar pepatah olah raga berbunyi cara bertahan terbaik adalah dengan menyerang. Dan tidak saja hanya untuk bertahan, menyerang juga adalah satu-satunya cara untuk memetik kemenangan dalam pertandingan. Anda tidak mampu menyerang dengan terstruktur rapi tetapi ingin menang? Bisakah diwujudkan? Bisa saja sekali sekala dengan faktor keberuntungan tetapi jangan berharap kejuaraan.
Nah dari empat laga yang sudah kita lihat itu ternyata kita lemah dalam menyerang atau tepatnya mengorganisasi permainan. Melawan Malaysia seperti kita ketahui lebih banyak karena kesalahan barisan belakang lawan. Dengan tidak mengecilkan peran Boas dan Irfan Bachdin serta pemain lainnya, kita harus akui itu. Gol ketiga memang bisa dibilang murni kelebihan kita, skill individu Zulham Zamrun cukup baik sehingga bisa menciptakan kemelut di depan gawang dan bisa dimaksimalkan menjadi gol ketiga.
Dalam pertandingan kandang melawan Vietnam gol pertama terlahir juga bukan dari skema dan organisasi permainan yang mantap. Gol tersebut lahir dari set piece tendangan bebas Zulham Zamrun yang bolehlah untuk hiburan kita sebut 'Ronaldonya' Indonesia, hehe. Artinya itu bukan dari aliran skema penyerangan yang bagus seperti yang kita rindukan selama ini, sebagai tanda kemajuan sepak bola kita. Sama halnya dengan gol kedua, di situ sekali lagi aksi individu yang menjalankan peran sentral. Kecepatan Andik Vermansyah dan kekuatannya melindungi bola mengoyak kesolidan pertahananan Vietnam dan kemudian umpannya bisa dikonversi menjadi gol.
Ketika blunder pemain lawan tidak terjadi, dan aksi individu tidak keluar yang terjadi kemudian bisa kita saksikan pada saat melawan Myanmar di stadion Thuuwanna Yangon lima hari lalu. Hanya karena cukup baiknya Fachrudin dan kawan-kawan mengawal pertahanan serta disumbang kurang tajamnya penyerang lawan nasib timnas Indonesia terselamatkan dari kekalahan. Bagi yang jeli mengamati pertandingan itu akan merasa gundah terhadap nasib persepakbolaan kita ke depan, yang dalam jangka pendeknya akan kita alami di piala AFF akhir November ini.
Masalah yang selama ini penulis kemukakan mengenai persepakbolaan Indonesia jelas terbukti. Sepak bola kita dalam bahasa sederhananya belum mampu melahirkan kerjasama permainan rapi yang timnas-timnas lain di kawasan ini bahkan sekelas Myanmar sudah munculkan. Ini artinya sepak bola kita tertinggal. Ini yang sepatutnya ditangani serius. Permainan tim-tim lain sudah menganut sepak bola modern, mengalirkan serangan lewat kerjasama tim yang padu yang susah dihentikan oleh aksi penghadangan sporadis tidak terstruktur dari orang per orang pemain kita. Kita dan bahkan pengamat lalu melihatnya stamina pemain kita drop sebagai alasan klasik. Betapa tidak drop jika stamina dihabiskan hanya untuk mengejar tanpa formula dan tanpa hasil ke sana ke mari bola yang terus berpindah dari dan ke sesama kaki tim lawan.
Sebagai ilustrasi sederhana, coba pembaca hitung, melalui berapa kaki bola mampu dipindah atau dimainkan oleh sesama pemain Indonesia sebelum salah umpan dan salah umpan lagi seperti tidak berubah dari dulu. Bandingkan dengan hitungan serupa untuk tim lawan, Myanmar misalnya. Terlihat hanya rata-rata 3 kali umpan kita mampu menguasai bola, dan ketika ditekan lawan berikutnya apa yang terjadi sudah dapat ditebak: kehilangan bola melalui umpan yang terburu-buru dan tidak strategis dan tidak ada formula.
Praktis pemain kita lebih sering dapat bola dari penjaga gawangnya, dibanding dari sesama pemain lainnya. Dari sini mengemuka dua fakta penting. Pertama kita tidak punya banyak kesempatan menyerang dan kedua kita lebih banyak menerima serangan. Penting untuk disadari bahwa jika kesempatan menyerang itu kurang maka peluang memenangkan pertandingan juga otomatis kurang pula.
Mengapa pemain kita mudah kehilangan bola ketika ditekan lawan dan susah menghentikan aliran bola lawan? Jawabannya adalah karena masalah kerjasama tim! Ini sungguh persoalan mendasar yang belum bisa diatasi sampai kini. Jadi bukan persoalan strategi permainan seharusnya yang perlu terus digodok kalau masalah mendasar bermain kolektif saja belum menguasai.