Kurang dari 40 hari lagi, MPR akan melantik Presiden dan Wakil Presiden RI ke - 7. Segudang pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru telah menunggu, sementara para politisi justru sibuk menyanyikan lagu, yang sama sekali tidak pantas dibilang merdu. Mengatur posisi bukan untuk mendorong bangsa ini segera bergerak maju, tapi merasa bangga atas nama konsistensi karena masih tetap bertahan di dalam kubu. Lontarkan isu demi isu, pertontonkan parodi yang tidak lucu.
Pilkada langsung menjadi tabu, basi, berbiaya tinggi hingga mendorong jumlah oknum kepala daerah dan wakilnya yang masuk bui karena korupsi, menjadi beribu-ribu. Sebagai politisi, tentu saja oknum anggota DPR dan DPRD yang menjadi mitra........... tak pernah sabar menunggu. Katanya, " Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, kami pasti menyusulmu (masuk bui juga, dong. Emang lo aja yang bisa?)". Menunjukkan kejujuran, tanpa malu-malu!
Wahai oknum politisi korup yang tidak terhormat, setankah yang telah merusak nuranimu? Dan iblis mendampingi ketika partaimu kami percayai lakukan rekruitmen untuk mencalonkanmu? Ada pelatihan apa sajakah di sana? Apakah trik mengumpulkan upeti secara santun, atau teknik melakukan tipu-tipu? Kalau itu semua tidak ada, kemudian akhirnya anda menjadi koruptor, berarti bukan salah partai. Tapi salah anda sendiri. Anda tidak tahu diri bahwa orang yang ada di dalam cermin itu, tidak punya integritas, kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi apapun di negeri ini. Partainya tidak salah, systemnya tidak salah, meski tidak ada salahnya juga kalau beberapa prosedurnya diperbaiki.
Wahai politisi yang masih punya kehormatan, yang menjadi kepala daerah, wakil kepala daerah atau anggota dewan, mohon dengarkan kami. Mungkinkah Anda juga merasa terganggu dengan pilkada langsung? Konco-konco Anda bilang, pilkada langsung menimbulkan konflik horizontal antar keluarga, saudara, bahkan antar suku. Faktanya bisa dilihat dengan jelas setiap hari di tv, siapa yang selalu gontok-gontokan?. Mencontohkan ketidak kompakan untuk membangun negeri ini dan terus berdebat tarik urat, dengan sama-sama mengatasnamakan kepentingan rakyat. Kalau memang dianggap memunculkan politik dinasti, bukankah pelakunya adalah teman-teman Anda sendiri? Pejabat yang berasal dari atau keluarga politisi, diawasi oleh parlemen yang tentu saja juga politisi. Dan menjadi tugas Anda membiarkannya?. Sedangkan rakyat tidak mungkin main hakim sendiri karena itu melanggar konstitusi (wakil rakyat kerja, dong).
Teman Anda juga menuduh bahwa pilkada langsung menjadi biang keladi semakin maraknya korupsi, karena ongkos politik yang begitu tinggi. Padahal teman-teman Anda itulah yang terjun langsung bagi-bagi uang ke masyarakat, dari tengah malam hingga dini hari. Menimpakan kesalahan kepada pihak lain, atas perbuatan yang dilakukannya sendiri. Benar-benar tidak punya hati.
Wahai politisi yang mulia, mohon maaf kalau banyak pertanyaan. Karena Anda tak pernah memberi jawaban. Yang kami butuhkan bukan pilkada tak langsung. Yang kami tunggu adalah, penegakan hukum. Katakan "PENEGAKAN HUKUM" sekali saja, dan contohkan kepada kami dengan perbuatan.....bukan janji, apalagi puisi. Atau rakyat akan menganggap, politisi hanya pantas hanyut di kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H