Lihat ke Halaman Asli

Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dalam Perspektif Kebangsaan dan Ideologis

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14025547552102918717

[caption id="attachment_342083" align="aligncenter" width="620" caption="HOS Tjokroaminoto/Kompasiana (kompas.com)"][/caption]


“sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan sosialisme yang berdasar kepada azas-azas Islam belaka.”

- Tjokroaminoto


Pak Tjokro dan Sarekat Islam

Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, atau kerap disapa Pak Tjokro oleh orang pada masanya,  adalah seorang yang lahir di Madiun pada 16 Agustus 1882. Ia merupakan seorang yang berasal dari keluarga bangsawan, kakeknya menjabat sebagai Regent (Bupati) Ponorogo. Karenanya, sedari awal, pendidikan Pak Tjokro sudah diarahkan untuk menjadi pegawai negeri, kendati itu bukanlah keinginannya. Ia menyelesaikan pendidikan di OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren), sekolah bagi para calon administratur bumiputera, sebelum akhirnya bekerja sebagai pegawai negeri di daerah Ngawi. Ia hanya bertahan selama 7 tahun sebagai pegawai negeri. Dalam pengembaraannya, ia sampai di Surabaya lalu kembali melanjutkan pendidikan di BAS (Burgerlijke Avond School) pada jurusan mesin, kemudian bekerja di pabrik gula. Sembari bekerja di pabrik gula, pada 1907, ia juga mulai menulis di harian Bintang Soerabaja.

Sejarah mengenal Pak Tjokro sebagai pemimpin SI (Sarekat Islam) yang paling fenomenal. Namun, banyak orang belum tahu bahwa SI hanyalah bentuk yang lebih lanjut dari sebelumnya yang merupakan SDI (Sarekat Dagang Islam) yang berdiri pada tahun 1905. SDI didirikan oleh H. Samanhoedi yang awalnya didedikasikan sebagai koperasi pedagang batik Surakarta. Tujuan didirikannya SDI adalah untuk memperkuat pemberdayaan pedagang lokal, khususnya batik. Seiring perkembangannya, SDI akhirnya berubah nama menjadi SI yang bermarkas pusat di Surabaya. Salah satu tokoh pemrakarsanya adalah Pak Tjokro. Namun demikian, pemerintah kolonial melalui Gubernur Jendral Alexander Idenburg tidak bersedia memberikan status badan hukum kepada pengurus pusat SI. Idenburg hanya bersedia memberikan status badan hukum kepada pengurus-pengurus SI lokal. Penulis menduga bahwa pemerintah kolonial sudah bisa mengendus pergerakan SI, sehingga tidak memberikan status badan hukum kepada pengurus pusat SI sebagai langkah mengerdilkan organisasi tersebut. Namun demikian, akhirnya pada 1915, Centraal Sarekat Islam (CSI) dideklarasikan melalui kongres ke-3 SI (yang juga Kongres Nasional CSI Ke-1) dengan Pak Tjokro sebagai pemimpinnya. Kongres tersebut juga dianggap sebagai tonggak pertama penggunaan istilah “Nasional” dalam sejarah Indonesia, yang akhirnya terlupakan dan tergilas oleh PNI  (Perserikatan Nasional Indonesia) oleh Bung Karno yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai pelopor istilah “Nasional”.

Bapak dari Bapak Bangsa

Pak Tjokro juga dikenal sebagai bapak ideologis dari banyak tokoh pergerakan Indonesia, diantaranya Soekarno, Abikusno, Semaoen, Alimin, Muso, Agus Salim, KH. Mas Mansyur, Kartosoewirjo, dan masih banyak lagi. Dari banyak tokoh tersebut tiga diantaranya merupakan tokoh penting dalam sejarah  pergerakan nasional: Soekarno, Semaoen, dan Kartosoewirjo. Meskipun berasal dari satu bapak yang sama, dalam perjalanannya ketiga orang tersebut justru saling menikam dan menghabisi secara ideologis. Hal ini bisa terjadi karena sedari awal Pak Tjokro sudah menyadari adanya pluralitas dan kemajemukan bangsa Indonesia, karenanya pula, Pak Tjokro tidak pernah bersikap ekslusif meskipun dirinya sendiri lebih dekat dengan Islam sebagai ideologi. Semaoen, dengan dukungan jaringan Komintern (Komunis Internasional) yang anti-pan islamis yang diusung oleh Pak Tjokro, akhirnya berhasil mengkooptasi kaum muda beberapa SI lokal untuk berubah haluan menjadi Komunisme yang kemudian mendeklarasikan SI Merah yang juga merupakan embrio dari Partai Komunis Indonesia. Hingga akhirnya, sang bapak memecat Semaoen dari keanggotaan SI, dan Semaon pun lebih leluasa mengembangkan jaring-jaring pengaruh komunismenya. Meskipun, banyak kalangan menilai langkah Pak Tjokro tersebut sudah terlambat dan seharusnya dilakukan jauh sebelum SI Merah berkembang. Sedangkan, Kartosoewirjo merupakan salah satu pimpinan PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia) semasa penjajahan, namun, kemudian memimpin pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Pun, mendeklarasikan NII (Negara Islam Indonesia) pada 1 Agustus 1949.

Kisah Soekarno tak jauh berbeda. Soekarno sendiri merupakan anak didik yang paling digemari oleh Pak Tjokro. Dalam beberapa catatan sejarah, tak jarang Soekarno menirukan gaya orasi Pak Tjokro di depan cermin saat malam, hingga kawan-kawan seperguruannya semisal Darsono dan Alimin menertawainya. Namun, gaya itulah yang ternyata membuat Soekarno populer dalam hal orasi. Berapi-api, pemilihan kata yang elok, dan gesture yang tegas adalah beberapa hal dari gaya orasi Pak Tjokro yang kemudian menyelinap ke dalam Soekarno yang kemudian membesarkan nama Soekarno sendiri. Hingga akhirnya, Soekarno yang memenangkan pertempuran ideologis itu dengan memberangus Pemberontakan Madiun yang menyebabkan tertembak matinya Muso. Juga, pemberantasan Pemberontakan DI/TII yang berhasil memejahijaukan Kartosoewirjo hingga akhirnya divonis hukuman mati dan dieksekusi. Ada empat ajaran pokok Pak Tjokro pula yang terus dipegang Soekarno kelak hingga memimpin negeri ini, keempat ajaran pokok itu ialah,

1.Islam adalah agama yang mengajarkan ide-ide demokrasi.

2.Islam merupakan dasar pokok bagi pendidikan moral dan inlektual.

3.Pemerintah Hindia-Belanda tidak boleh ikut campur dalam bidang agama
dan tidak membuat diskriminasi atas agama-agama yang ada di Indonesia.

4.Rakyat harus diberi kesempatan berpartisipasi dalam politik.

Dalam kiprah politiknya, Soekarno kerap mengewejantahkan empat ajaran pokok Bung Tjokro itu, salah satu tafsirannya sebagai sekulerisme, “Tidak perlunya negara mengatur persoalan agama dan agama mengatur persoalan negara. Sebab meskipun agama dipisahkan dari negara, tidak berarti agama akan dikesampingkan dalam kehidupan kenegaraan. Juga tidak mungkin keputusan-keputusan politik negara akan bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang dianut masyarakat, apabila lembaga parlemen yang mengeluarkan keputusan-keputusan itu beranggotakan orang-orang yang yakin akan kebenaran ajaran agamanya.”

Gagasan Sosialisme-Islam Pak Tjokro

“Islam dan Sosialisme” adalah salah satu manifesto Pak Tjokro yang paling fundamental yang menjelaskan hubungan Islam dengan Sosialisme, dasar-dasar historis atas Islam yang sosialis, dan penjelasan penolakannya atas Marxisme dan Kapitalise, serta mengapa Sosialisme-Islam layak untuk Indonesia. Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1924, di kala isme-isme yang ada sedang digandrungi pelajar-pelajar Indonesia. Kehadiran buku “Islam dan Sosialisme” menawarkan sebuah alternatif baru di luar isme-isme yang masuk dari dunia barat, seperti Komunisme, Liberalisme, Kapitalisme, dan Islamisme itu sendiri.

“Islam dan Sosialisme” dibuka dengan tulisan, “sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan sosialisme yang berdasar kepada azas-azas Islam belaka.” Pak Tjokro berpendapat bahwa Sosialisme yang digagas dalam Islam dibangun di atas kemajuan budi pekerti rakyat. Lebih lanjut lagi, Pak Tjokro mengatakan bahwa Islam dengan tegas mengharamkan riba’, yang oleh Marx disebut nilai lebih, dengan demikian jelas pulalah bahwa Islam menentang Kapitalisme. Pak Tjokro juga memberikan ilustrasi lain tentang bagaimana Islam menentang Kapitalisme dan Islam kompatibel dengan Sosialisme, yaitu dalam konsep dasar muamalah Islam, dimana Islam mengingatkan akan celaka orang yang mengumpulkan harta untuk kesia-siaan. Jadi dalam sistem muamalah Islam, praktek yang mengarah pada penimbunan atau penumpukan modal dan barang adalah dilarang. Demikian juga Islam melarang praktek riba karena dianggap benih kapitalisme. Pak Tjokro kemudian menyimpulkan dua prinsip utama dalam Islam, yaitu Kedermawanan Islami dan Persaudaraan Islam.

Sebuah Tanggapan

Dari beberapa ulasan, yang bertebaran di dalam jaringan internet, mengenai Pak Tjokro, penulis mengetahui bahwa Pak Tjokro merupakan pribadi dengan pemahaman yang luas dalam hal dunia pemikiran dan merupakan seorang yang open minded. Hal tersebut tercermin dari bagaimana pada akhirnya murid-murid Pak Tjokro memiliki fokus ideologi yang beragam, sebut saja Nasionalis Soekarno dan Komunis Semaoen. Namun, ada sebuah sifat Pak Tjokro yang ditengarai menjadi salah satu sebab meluasnya perpecahan SI, yakni keinginan Pak Tjokro untuk menyenangkan semua pihak dan berdiri di atas semua golongan. Dari berbagai ulasan mengenai “Islam dan Sosialisme” pula, penulis menyimpulkan bahwa Pak Tjokro sebagai seorang Islam belum mempunyai pemahaman yang mendalam terkait Islam itu sendiri. Lemahnya pemahaman Islam Pak Tjokro dapat dideteksi dari kurang tergalinya prinsip “doa orang yang tertindas akan lebih dikabulkan”, dalam Al-Qashash:5 misalnya, “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhu’afa) di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi”. Hal ini membuat gagasan Pak Tjokro terasa kentang (kena tanggung) dan parsial. Padahal, gambar besar yang ditawarkan Pak Tjokro sudah cukup baik dan cukup menyentuh praksis. Kendati demikian, perlu diakui bahwa Pak Tjokro terlambat menyebarkan virus gagasan Islam-Sosialisnya, Semaoen melalui SI Merah lebih cepat menyebarkan gagasan-gagasan Komunismenya dan ternyata kompatibel dengan situasi dan kondisi rakyat saat itu yang notabene tertindas oleh mata rantai kolonialisme Belanda dan feodalisme kaum priyayi.

Salah satu hal yang juga bisa diambil sebagai teladan dari Pak Tjokro adalah bunuh diri kelas yang beliau lakukan. Di awal tulisan ini, diulas bahwa Pak Tjokro merupakan seorang keturunan priyayi dengan kakek seorang regent. Dengan fasilitas demikian, bukan hal yang mustahil jika Pak Tjokro bisa mendapat pendidikan yang baik, juga bukan tidak mungkin jika Pak Tjokro bisa meraih posisi yang baik sebagai Pangreh Praja. Seandainya saja Pak Tjokro lebih memilih menjadi pengabdi kolonialis, mungkin tidak mustahil Soekarno tidak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bahkan Soekarno sendiri berkata, “Andaikata Tjokroaminoto masih hidup, tentulah bukan saya yang menjadi presiden, melainkan dia. Saya ini tidak ada apa-apanya dibanding dia.”

Bahan Acuan: http://tjokroaminoto.wordpress.com/> 26/01/2014, 15.03 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline