Lihat ke Halaman Asli

Akankah Jokowi Mendirikan Partai (Baru) Sendiri?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada Pemilu 2004, Golkar adalah partai yang dihuni banyak tokoh senior yang kemudian mengantarkan Golkar menjadi pemenang pada Pemilu edisi tersebut. Tercatat ada nama Wiranto, Jusuf Kalla, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan juga Akbar Tandjung. Akbar menjabat sebagai Ketum Partai waktu itu. Tapi ini tak serta merta menjadikannya sebagai kandidat dalam pilpres. Mengingat banyaknya tokoh yang memiliki potensi menjadi calon presiden, digelarlah konvensi yang bertujuan menyaring nama-nama tersebut menjadi capres yang diusung partai. Wiranto yang juga mantan Panglima TNI, keluar sebagai pemenang konvensi dan berhak mengikuti pilpres dengan menggandeng Shalahudin Wahid sebagai wakilnya.

Akan tetapi kegagalan dalam pilpres dan konflik di internal partai, membuat  Wiranto memutuskan hengkang dari Golkar. Bukannya pindah ke partai lain, Wiranto malah mendirikan partai baru yang bernama Hanura (Hati Nurani Rakyat). Dalam perjalanannya Partai Hanura tak langsung menjadi kekuatan besar seperti Golkar. Namun sepertinya Wiranto lebih nyaman dengan rumah barunya ini. Di bawah kepemimpinannya, Hanura nampak harmonis dan kondusif.

Fenomena ini kembali terjadi selepas Pemilu 2009. Aburizal Bakrie dan Surya Paloh berebut kursi ketum menggantikan Jusuf Kalla. Setelah melalui proses pemilihan, Bakrie ditetapkan sebagai ketum. Hal ini memicu keretakan di internal partai yang menyebabkan Surya Paloh keluar dari partai tempatnya bernaung selama ini. Seperti halnya Wiranto, dia juga mendirikan partai baru dengan nama Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang akan mulai berkiprah pada Pemilu 2014. Meskipun tak berniat mengajukan diri sebagai capres, nampaknya Surya Paloh juga puas dengan kinerja Nasdem sejauh ini. Partai baru bisa menampung segala ide dan filosofinya tanpa harus berseberangan dengan tokoh senior lain.

Lantas apakah Jokowi juga akan melakukan hal demikian juga? Untuk apa?

Saat ini Jokowi tercatat sebagai kader PDI Perjuangan. Awal mula Jokowi bergabung dengan partai berlambang banteng ini adalah pada saat pilkada Solo 2005. Saat itu Jokowi didorong oleh kawan-kawannya di kelompok pengusaha mebel untuk ikut bersaing menjadi Calon Walikota Solo. Melihat kepemimpinan Jokowi di organisasi tersebut, kawan-kawannya yakin Jokowi mampu memimpin dan menyelesaikan permasalahan di Kota Solo. Namun saat itu Jokowi tidak memliki partai yang dijadikanya kendaraan untuk ikut dalam Pilwali Solo.

Sementara saat itu, PDIP juga belum memilki figur yang akan dijadikan calon wlaikota untuk bertarung di Pilwali Solo. Ada nama FX Rudyatmoko yang juga Ketua PDIP cabang Solo, tapi Rudi dianggap kurang populer di kalangan masyarakat Solo. Gayung bersambut, Jokowi yang potensial belum memiliki partai pengusung. Maka dipinanglah Jokowi sebagai calon walikota sedangkan Rudi didapuk sebagai wakilnya. Hasilnnya luar biasa. Jokowi mengungguli pasangan lain dalam Pilwali dan terpilih sebagai Walikota Solo periode 2005-2010.

Sejak saat itu Jokowi menjadi kader PDIP. Sebagai kader, Jokowi terhitung loyal. Dia sangat patuh kepada perintah atasan dalam menjalankan tugas. Hal ini terlihat pada Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu silam. Meskipun sudah nyaman duduk di kursi Walikota Solo, Jokowi memenuhi undangan pengurus pusat untuk sowan ke Jakarta. Dalam pertemuan itu diputuskan Jokowi maju dalam Pilkada Jakarta sebagai Calon Gubernur berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari Partai Gerindra. Hasilnyapun kembali moncer. Jokowi mampu mengalahkan Fauzi Bowo dan juga calon lainnya dalam Pilkada yang digelar dua putaran tersebut.

Menjelang Pemilu 2014 digelar, nama Jokowi difavoritkan sebagai calon presiden. Sejumlah Survey menunjukkan betapa tingginya tingkat keterpilihan Jokowi jika ikut bertarung dalam Pilpres. Fakta ini membuat para petinggi PDIP sedikit mengerutkan kening. Ada yang mendukung pencalonan Jokowi, ada juga yang ingin Jokowi fokus bekerja membenahi Jakarta.

Tapi keputusan pencalonan Jokowi mutlak menjadi keputusan Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai ketua umum partai. Jokowi sendiri juga menyatakan kepasrahannya pada perintah pusat. Jika Mega memutuskan untuk mengusng Jokowi sebagai capres, maka tak ada alasan bagi Jokowi menolak keputusan tersebut. Tapi jika Mega punya pilihan lain, Jokowi tetap menghormati pilihan tersebut.

Inilah resiko dari seorang kader ‘biasa’ seperti Jokowi di PDIP. Dalam struktur kepengurusan partai, saya tidak pernah melihat Jokowi menjabat sebagai apa. Jangankan ketum atau sekjen, ketua bidangpun tak pernah diembannya.  Hal ini tak bisa membuat Jokowi leluasa dalam mengambil keputusan. Dia hanya sendiko dawuh atas apa yang diputuskan pimpinan. Meskipun menjabat sebagai Gubernur, naluri ‘wong ciliknya’ masih kental terasa. Mungkin Jokowi merasa ini adalah bentuk terima kasihnya atas dukungan yang diberikan PDIP hingga dia dapat menduduki posisi Gubernur.

Tapi jika Jokowi ingin lebih nyaman sebagai seorang politisi atau negarawan, bukan tidak mungkin dia akan mendirikan partai baru layaknya Wiranto dan Surya Paloh. Dalam partai baru yang didirikannya tersebut dia akan memegang kendali utama, entah sebagai ketua umum atau ketua dewan pembina, terserah dia yang menentukan. Selain itu dia juga bisa lebih tegas dalam bersikap dan menentukan pilihan tanpa menunggu adanya perintah dari pusat.

Faktor pendukung jika Jokowi mendirikan partai baru adalah popularitas dan juga filosofinya. Masyarakat sudah mengenal bagaimana karakter Jokowi yang kalem dan ndeso tapi tegas dan lugas dalam bekerja. Filosofi inilah yang bisa menjadi landasan partai. Filosofi ini pula yang nantinya akan menarik perhatian rakyat ‘kecil’ untuk menjadi kader dan simpatisan partai. Utamanya golongan kelas menengah ke bawah sepertinya akan mendukung partai ini selain dari golongan muda yang mengagumi sosok Jokowi.

Akan tetapi mendirikan partai bukan perkara gampang. Perlu dana besar dan waktu yang panjang untuk mewujudkan partai yang solid. Selain itu, melihat latar belakang Jokowi yang sebenarnya bukan ‘orang partai’ tampaknya membuatnya tak memiliki cita-cita mendirikan partai baru. Jokowi juga akan kehilangan citra baiknya jika dia mendirikan partai baru karena akan dicap sebagai pengkhianat oleh para musuhnya.

Dunia politik memang sangat dinamis. Tak ada pertemanan abadi ,yang ada hanyalah kepentingan abadi. Sekarang bergandengan tangan, mungkin esok bercerai-berai.  Kita lihat saja langkah Jokowi ke depan. Semoga apa yang dipilihnya adalah untuk kepentingan rakyat banyak dan bukan untuk kepentingan pribadinya saja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline