Partai Demokrat sedang dilanda kegalauan. Elektabilitas partai terus merosot. Konvensi yang bertujuan menyaring calon presiden tak mendapat respon positif dari publik. Sementara itu, satu persatu kadernya menjadi sasaran tembak KPK. Teranyar adalah Shutan Bathoegana yang digeledah ruang kerjanya. Dalam rangka menyolidkan barisan jelang Pemilu, konsentrasi mereka kembali pecah lantaran kasus yang menimpa sang mantan ketua umum, Anas Urbaningrum.
Anas sejatinya adalah kader jempolan di Partai Demokrat. Terbukti dia berhasil mengungguli peserta lain dalam pemilihan ketua umum beberapa tahun lalu. Bahkan dia digadang-gadang sebagai calon presiden potensial dari Partai berlambang mercy ini. Jaringannya dalam internal partai kuat. Begitu juga dengan pihak-pihak eksternal. Lantaran aktif di organisasi semasa kuliah dan sampai saat ini, tentu dia punya barisan pendukung dari rekan-rekan seperjuangannya semasa dulu.
Namun sinar terang Anas meredup seketika saat dia diduga terlibat dalam kasus korupsi Hambalang. Kasus yang juga menyeret nama-nama beken macam Andi Malarangeng dan juga M. Nazaruddin sang bendahara partai kala itu. Anas diduga menerima suap dari pihak kontraktor agar proyek tersebut berjalan mulus. Selain itu, dia diduga juga mendapat dana untuk membiayai pencalonannya sebagai ketua umum partai. Entah dia benar-benar menerima suap itu ataupun tidak, kini Anas sudah mendekam di dalam penjara.
Kasus Anas begitu menyita perhatian publik. Bersama loyalisnya, Anas melakukan perlawanan yang gigih. Bahkan KPK harus melakukan penjemputan paksa lantaran Anas selalu mangkir dari panggilan yang dilayanngkan. Ada saja hal yang menjadi alasan ketidakhadirannya. Sebagai orang awam mengenai hukum, saya tidak berani berkomentar mengenai hal tersebut.
Tapi ada hal yang menjadikan kasus ini mendapat perhatian. Selain ucapan-ucapan Anas yang memancing kontroversi tentunya. Tak seperti kader-kader lain yang terjerat kasus korupsi, seperti Andi dan Angie, seolah Anas menjadi virus tersendiri bagi Partai Demokrat. Sebisa mungkin dia disingkirkan dari partai. Hingga saya berfikir, kasus Anas bukanlah kasus seorang musuh negara yang telah mengkhianati rakyat. Tapi lebih kepada urusan internal Partai Demokrat yang kemudian melibatkan lembaga negara (KPK) untuk ikut berperang. Posisi rangkap jabatan SBY sebagai Presiden dan Ketum Partai adalah penyebabnya.
Jika kita telusuri ke belakang, mungkin ada fakta yang mendukung opini saya diatas. Anas Urbaningrum dengan kecemerlangannya dalam berorganisasi dan berpolitik telah mengantarkannya sebagai tokoh nasional. Jabatan ketum partai digenggamnya. Tercatat juga dia punya loyalis yang benar-benar loyal. Entah apa yang diucapkannya pada orang-orang itu sehingga mereka rela menjadi public enemy karena membela orang yang dianggap sebagai pengkhianat rakyat.
Agaknya ada agenda yang dibawa Anas ke dalam tubuh Partai Demokrat. Dan ini mengusik ketenangan para petinggi Demokrat lain. Dan kelompok inipun segera melancarkan mind games ke Presiden SBY yang menjadi Ketua Dewan Pembina Partai saat itu. Tujuannya adalah menyingkirkan Anas dari partai Demokrat. Seperti apa yang diucapkan Anas beberapa waktu lalu, bahwa ada orang dalam lingkaran dekat SBY yang punya watak seperti Sengkuni dalam tokoh pewayangan. Sengkuni adalah paman yang sekaligus patih yang selalu menghasut Kurawa untuk terus memusuhi dan mencelakai Pandawa.
Nasib Anas sepertinya serupa dengan Thaksin Shinawatra. Mantan PM Thailand yang kini harus meninggalkan negerinya karena menjadi terpidana kasus korupsi. Padahal di masa pemerintahannya, Thailand berada dalam jalur kemakmuran. Dia sangat dekat dengan rakyat menengah ke bawah lantaran program-programnya memprioritaskan kesejahteraan golongan tersebut. Simpati berlebih dari para rakyat Thailand ini nampaknya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pihak kerajaan. Mereka tak ingin wibawa raja digerogoti dan rakyat lebih tunduk dan patuh pada pemerintah. Lantas lahirlah revolusi yang didengungkan kaum ‘kaos kuning’ anti Thaksin yang kemudian berhasil menggulingkan Thaksin dari tampuk kekuasaan. Revolusi inipun mendapat restu dari pihak kerajaan. Dan hingga saat ini konflik kepemimpinan di Thailand menjadi masalah yang berkepanjangan.
Kini para investor mulai lari dari negeri gajah putih ini. Dipastikan sektor ekonomi akan mengalami gangguan. Begitu juga dengan pembangunan di bidang-bidang lain. Lantas, apakah hal yang sama juga akan menimpa Partai Demokrat? Apakah niat mereka benar-benar memerangi korupsi atau memerangi orang yang dianggap musuh dalam selimut? Kita lihat saja hasilnya di Pemilu 9 April nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H