Lihat ke Halaman Asli

Aachen...Sebuah Catatan Perjuangan Habibie

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Secara umum kita mengenal dengan nama Aachen, tetapi orang Perancis lebih senang memanggil Aix-la-Chapelle sesuai dengan lidah mereka. Aix-la-Chapelle sendiri berarti kota air.  Aix berasal dari bahasa latin yang berarti aqua atau sumber air. Ini dikarenakan Aachen dilintasi oleh dua aliran air, dingin dan panas, yang tidak hanya mengeluarkan uap tetapi juga menyebarkan bau seperti telur busuk karena tingginya kadar belerang dalamnya. Secara geografis kota ini terletak diujung barat Republik Federasi Jerman, berbatasan dengan Belgia dan Belanda. Aachen bisa jadi adalah nama kota di Jerman yang sangat akrab ditelinga masyarakat Indonesia, lebih populer banding kota-kota lain seperti, Munchen, Koln atau bahkan ibu kota Jerman sendiri, Berlin. Disinilah satu dari putra terbaik yang pernah ada dari bangsa Indonesia menuntut ilmu, Prof.Dr.-ing Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden ke 3 Republik Indonesia.



Di era 50an Presiden Sukarno menginginkan Indonesia menjadi negara yang benar-benar merdeka, mandiri sebagai bangsa dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sebagai bagian dari planning besar Bung Karno, dikirimlah ratusan pelajar ke eropa. Dan ditahun 1954, B.J Habibie berangkat Jerman untuk belajar di RWTH (Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule) Aachen, universitas teknik terbaik di Jerman.





Gelar doctor ingenieur-nya diperoleh pada tahun 1965, dengan predikat suma cum laude  pada usia yang sangat muda, 28 tahun,  dengan nilai rata-rata 10. Prestasi ini membuatnya dipercaya menjadi Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Analisis Struktur di Hamburger Flugzeugbau (HFB). Tugas utamanya adalah memecahkan persoalan kestabilan konstruksi bagian belakang pesawat Fokker 28. Sejak pertama kali pesawat terbang ditemukan hingga pada tahun 1960-an, pemakai dan produsen pesawat terbang sama-sama tidak tahu persis, sejauh mana bodi pesawat terbang masih handal untuk dioperasikan. Musibah pesawat terbang masih sering terjadi karena adanya kelelahan (fatique) pada bodi dan kerusakan konstruksi yang tak terdeteksi. Taruhannya adalah sayap bisa sontak patah saat pesawat tinggal landas.  Luar biasa, hanya dalam kurun waktu enam bulan, masalah itu terpecahkan oleh Habibie.



Kekaguman terhadap sosok Presiden ke 3 RI itu, mendorongku untuk mengadiri acara Forum Pertemuan Mahasiswa dan Ilmuwan Indonesia di Eropa, yang diselenggarakna oleh PPI Aachen (Perhimpunan Pelajar Indonesia) bekerjasama dengan I4 (Ikatan Ilmuan Internasional Indonesia), mengundang B.J Habibie untuk memberikan kuliah umum sebagai langkah awal untuk memotivasi dan membuka wawasan para ilmuwan, kandidat doktor dan mahasiswa Indonesia di Eropa. Berharap bisa menemukan semangat dan motivasi baru, maka bersama beberapa kawan dari Paris, kami berangkat menggunakan TGV (Train à Grande Vitesse) atau kereta api cepat, menuju Aachen, yang ditempuh dalam waktu 2,5 jam. Tiba di Aachen kami disambut hujan gerimis, suhu udara 12oC, padahal saat itu bulan Juli, dimana eropa sedang mengalami musim panas.  Distasiun HBF (Hauptbahnhof)Aachen, atau stasiun sentral, kami bertemu dengan beberapa mahasiswa Indonesia, cukup mudah dikenali dari wajah dan baju batik yang mereka kenakan, tujuan kami sama menuju kampus RWTH.



Kuliah diselenggarakan mengambil tema “Sinergi Ilmuwan Indonesia di Luar Negeri untuk Pembangunan Bangsa.Acaranya sendiri cukup mendapat antusiasme dari masyarakat dan pelajar Indonesia di Eropa. Dihadiri hampir 250 orang pelajar yang tersebar di 10 negara Eropa seperti Jerman, Perancis, Belanda, Belgia, Swiss dan Austria, termasuk dihadiri oleh Walikota Aachen dan Rektor RWTH Ernst Schmachtenberg untuk memberi kata sambutan. Sungguh membanggakan bisa menghadiri acara ini dan bertemu pelajar-pelajar Indonesia dari berbagai negara dengan bidang ilmu yang berbeda-bada, apalagi media lokal ikut meliput acaranya, dari sini saya sadar betapa besar arti Habibie bagi kota ini.



Diusia yang sudah mencapai 75 tahun, hampir selama 3 jam Habibie masih kuat berdiri diatas podium. Semangatnya yang luar bisa membuat panitia cukup kerepotan mengatur waktu, sampai-sampai harus menghentikannya ditengah-tengah pemaparan beliau, “saya memang susah berhenti kalau sudah bicara” seloroh Habibie disambut tepuk tangan peserta. Kuliah disampaikan dua sesi dengan bahasa Inggris dan Indonesia. Sesi pertama habibie menjelaskan perbandingan antara peran Indonesia di Asean dan Jerman di Eropa, pencapaiannya selama menjadi Menristek. Disesi kedua beliau bicara tentang Sinergi Ilmuwan Indonesia di Luar Negeri, singa tua ini masih begitu bersemangat memotivasi pelajar Indonesia untuk berjuang memajukan bangsa. Ditengah-tengah kuliah-nya beliau menceritakan tentang masa-masa studi di Aachen, perkenalannya dengan Romo Mangunwijaya yang mengambil jurusan arsitektur di univesitas yang sama, saat harus menahan menahan lapar untuk berhemat karena uang kiriman yang tidak kunjung datang, dan bertahan  di perpustakaan sampai menjelang tutup karena memang tidak ada pemanas ruangan di rumahnya. Betapa kesulitan dan kekurangan bukan menjadi penghambat untuk menjadi maju.

Saat dipuncak karirnya, 1973, Pak Harto memanggilnya. Dengan tekad memenuhi panggilan Pertiwi, Habibie pulang ke Indonesia, meninggalkan karir yang gemilang di Jerman. Hanya dibantu 20 orang waktu itu, Habibie mendirikan IPTN, 1974, untuk membuat pesawat terbang. Saat industri tersebut berkembang pesat, jumlah karyawannya menjadi sekitar 44.000 orang. 1989, lewat kerjasama dengan Spanyol, IPTN ikut serta dalam Paris Air Show di Le Bourget, Perancis. CN 235 membuat banyak orang tercenggang. Bagaimana mungkin negara kemarin sore yang masih tertatih-tatih mengurusi masalah dalam negeri, bisa tampil dalam pameran prestisius tersebut. Beberapa wartawan asing mendatangi Habibie, dan bertanya, “Apa rencana anda selanjutnya?” Dengan optimis beliau menjawab, “Saya akan membuat pesawat yang lebih canggih dari ini”. 10 Agustus 1995, sebagai kado 50 tahun kemerdekaan Indonesia, Habibie memberi pertunjukkan spesial, N 250 mengkasa selama 55 menit tanpa cacat. Setahun berikutnya,untuk pertama di dunia diIndonesian Air Show 1996 , N 250 menyita perhatian dunia karena digerakkan oleh teknologi brilian yang belum pernah ada sebelumnya,fly by wire.Apalagi pesawat ini sudah melewati pengujian 900 jam terbang. Industri pendukung yang terletak di Oklohama dan Stuggart sudah bersedia menyediakan tempat untuk produksi massal N 250. Badai krisis melanda Indonesia tahun 1997, merongrong habis sumber daya ekonomi nasional, kemampuan finansial IPTN susut drastis. Terlebih karena pemerintah meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) guna menanggulangi krisis. Dalam kerangka itu, IMF menyaratkan bahwa pemerintah tidak boleh lagi mengucurkan dana ke IPTN.



Semangatnya masih berapi-api dengan bahasa tubah yang khas seorang Habibie, setiap kata yang diucapkan seolah menjadi pemicu untuk berbuat lebih baik. Ada persaan banggu ketika beliau bercerita tentang IPTN, dan kesedihan yang mendalam ketika bicara tentang runtuhnya impian beliau ketika krisis menerpa negeri ini. Tidak lupa habibie mengkritisi keadaan ekonomi dalam negeri saat ini, Habibie mengatakan bahwa Penggerak utama industri manufaktur itu adalah pasar dalam negeri. Pasar dalam negeri harus diamankan untuk setiap produk dalam negeri tanpa membedakan siapa pemiliknya, kebijakan yang membebaskan impor barang-barang manufaktur mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan sehingga akan menambah pengangguran. Ia menjelaskan, selama ini Indonesia sering dibutaan dengan konsep neraca pembayaran dan neraca perdagangan. Seolah-olah dengan neraca perdagangan dan neraca pembayaran yang positif hal itu sudah cukup. Neraca perdagangan kita positif karena ekspor sumber daya alam, hal ini tidak memberikan nilai tambah bagi sumber daya manusia Indonesia. Sementara impor Indonesia berupa barang industri manufaktur yang menyerap tenaga kerja. Menurut Habibie lagi, selain neraca perdagangan dan pembayaran, yang penting adalah neraca jam kerja. Indonesia hingga saat ini mengalami defisit dalam neraca jam kerja. Hal ini karena barang-barang impor Indonesia berupa barang manufaktur yang memberikan nilai tambah.



Diakhir kuliah, tidak beliau memberikan nasehat kepada anak dan cucu-cucunya agar menjadi insan yang lebih baik, “kalian adalah anak dan cucu-cucu saya walaupun bukan secara biologis’, seluruh peserta berdiri dan memberi tepuk tangan panjang kepada putra terbaik bangsa ini. Dibagian penutup acara panitia membacakan dan menandatangini Piagam Aachen yang berisi tentang adanya itikad baik untuk bersama-sama untuk berkontribusi untuk menyelesaikan permasalahan bangsa.



Acara  ditutup pada pukul 16.00 waktu Aachen itu di akhiri dengan foto bersama beliau dan peserta saling berebut bersalaman dan meminta tanda tangan di buku beliau “ Habibie dan Ainun”. Selalu ada pertanyaan menarik yang sering muncul dalam pikiran saya setiap mengunjungi suatu tempat atau negara. Kali ini coba saya tanyakan terhadap rekan-rekan yang sedang menumpuh pendidikan di Jerman, land of idea kata mereka. Sebuah pertanyaan sederhana "apa sebenarnya yang membuat mereka tertarik untuk kuliah di Jerman”. Dan ternyata jawabannya bukan karena biaya pendidikannya yang murah atau Jerman adalah pusatnya teknologi di eropa. Tetapi sebuah jawaban sederhana, karena Pak Habibie pernah kuliah di Jerman....






BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline