Lihat ke Halaman Asli

Mas Awan

Mas Awan

Susuk: Negeri Lumbung Padi

Diperbarui: 16 Februari 2017   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

“Pak kenapa negeri kita dinamakan Jamrud Khatulistiwa?”, tanyaku pada Bapak. “Yaaa, karena negeri kita ini warisan dari Empu Gandring.”, jawab Bapak singkat. Mungkin dari jawaban Bapak itulah, kini timbul rasa penasaran yang makin berkecamuk dalam pikirku. Apakah sebenarnya hubungan antara negeri ini dengan Empu Gandring. Siapakah sebenarnya Empu Gandring ini yang tak lebih dari seorang pandai besi? Bagaimana juga Mpu Gandring ini bisa memiliki tongkat, kayu dan batu yang bisa jadi tanaman?

dokumentasi pribadi

Berada jauh dari hiruk pikuk kota, Susuk memiliki potensi alam yang luar biasa. Letaknya yang strategis, menghubungkan antara 2 kecamatan, yaitu Purwodadi dan Grabag, menjadikan Ngombol sebagai destinasi alternatif praktis jalur mudik menuju kota Yogjakarta dan Solo maupun sebaliknya. Susuk merupakan sebuah desa cantik yang diapit puluhan ribu hektar sawah yang pernah menjadi penopang perut ratusan ribu warga Purworejo. 

Julukan sebagai ‘Lumbung Padi”-nya Purworejo pernah disandangnya. Selain itu Susuk menawarkan geliat ekonomi dan wisata budaya Jawa khas Mangkunegaran. Salah satunya tarian Jidur Lanang yang kembali eksis 2 tahun terakhir ini, walaupun sempat hilang selama beberapa dekade karena proses regenerasi yang terputus. Tarian yang dipercaya sebagai perantara datangnya makhluk ghaib dengan busana mirip tentara Belanda ini juga merupakan perwujudan rasa terima kasih kepada alam dan lahan pertanian yang begitu melimpah.

dokumentasi pribadi

Susuk sendiri berasal dari kata “ngesuk-esuk” atau dalam bahasa jawa berarti berhimpit-himpitan. Hal ini didasarkan pada anggapan sebagian besar warga kala itu, bahwa warga asli Desa Susuk memiliki banyak sawah yang menghimpit tanah orang. Tapi kenyataannya memang demikian. Sebagai contoh, mantan lurah era kemerdekaan, ayah Prof Mahar Mardjono, yang kini sudah wafat, memiliki ratusan hektar sawah yang tersebar di kecamatan Ngombol. Atau kakek saya sendiri, Simbah Kakung Sontodimedjo yang memiliki beberapa lahan sawah yang tersebar di luar wilayah desa Susuk. Dari hal inilah, kemudian diberikan nama “Susuk” yang berarti ngesuk-esuk (berhimpit-himpitan). 

Wilayah Desa Susuk semulanya merupakan pecahan dari 3 Desa yang kini telah berdiri sendiri yaitu Desa Klandaran, Desa Mendiro, dan Desa Susuk sendiri yang bernama Mangunrejo. Kapan tanggal pastinya masih menjadi perdebatan hingga kini. Dari masing-masing desa tersebut memiliki kepercayaan yang disakralkan, sebagai contoh, Desa Klandaran memiliki Tokoh Sakral bernama Den Bagus Gledek dengan tunggangannya berupa Jaran Gulo Geseng yang berlokasi di Kebon Ndoro, Desa Mendiro mempunyai seorang tokoh bernama Eyang Gusti Mendiro dengan hal tabunya bernama Banyu Mendiro. Sedangkan desa Susuk sendiri memiliki tokoh perempuan bernama Sri Kuning yang dipercaya sebagai tokoh yang pertama kali membuka hutan desa Susuk.

Di luar anggapan tersebut, Desa Susuk ternyata dihuni oleh masyarakat yang agamis. Ini dibuktikan dengan berdirinya sebuah pondok pesantren bernama Nurun Najjah. Pondok pesantren ini menampung santri dari dalam dan luar desa Susuk. Berlokasi di masjid Al Hikmah yang telah berusia ratusan tahun dan menjadi saksi bisu penyebaran agama Islam di Purworejo, khususnya kecamatan Ngombol.

Proses literasi dan pembangunan kini mulai tergali. Susuk bangkit dan bermetamorfosa menjadi desa yang terdepan dalam menggali potensi wisatanya. Lebih lagi dengan rencana berdirinya bandara Gunung Kidul menjadikan kawasan desa Susuk diperhitungkan di dalam negeri sebagai desa wisata unggulan. Wargapun dilibatkan secara personal dalam proses ini. Sebagai putra desa Susuk, saya pribadi merasa terpanggil untuk terus berkarya dan berinteraksi secara langsung bersama warga untuk membangun Desa Susuk tercinta. Salam berbudaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline