Pengertian Adversity Quotient
Adversity berasal dari bahasa Inggris, yang berarti kegagalan atau kemalangan (Echols & Shadily, 1993, pp.14). Dalam bahasa Indonesia, kata adversity juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menyebabkan ketidakbahagiaan, kesulitan, atau ketidakberuntungan. Rifameutia dalam Reni Akbar Hawadi (2002, pp.195) menyatakan dalam kajian psikologi, adversity adalahistilah yang mengacu pada kesulitan yang dihadapi manusia. Paul G. Stoltz, seorang konsultan yang sangat terkenal dalam topik kepemimpinan di dunia kerja dan pendidikan berbasis keterampilan, adalah orang yang pertama kali mengembangkan konsep kecerdasan AQ (Kecerdasan Quotient).
Ia berpendapat bahwa nilai kognitif (IQ) dan emosi (EQ) tidak cukup untuk memprediksi kesuksesan seseorang, Karena ada komponen yang disebut kecerdasan odds quotient. Ary Ginanjar Agustian. (2010, pp.271). Adversity quotient adalah ketahanan mental yang dimiliki seseorang dalam menghadapi kesulitan untuk bertahan hidup dan bagaimana keterampilan ini dapat membantu mereka menemukan jalan keluar dan bertahan ketika menghadapi masalah atau kesulitan, bahkan menjadikan kesulitan sebagai peluang. Widya Ayu Puspita. (2019, pp.175).
Dimensi-dimensi Adversity Quotient, control, data tahan, jangkauan, kepemilikan. Selanjutnya Adversity Quotient memiliki tingkatan yaitu Quater, Climber, Camper, tingkatan ini adalah sebuah tingkatan dimana seseorang memiliki tingkat perbedaan dalam mengahdapi tantangan, hambatan serta kesulitan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari hari.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Secara epistemologis, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dipahami sebagai konsep civic/citizenship education. Soetoprawiro (1996), dikutip Ismail dan Sri Hartati (2003. pp.3), berpendapat bahwa "onderdaan" dan "semi-warga negara" berbeda dalam arti warga negara. Selain itu, dikatakan bahwa budaya kerajaan feodal Indonesia membawa kata "kawula negara", yang diterjemahkan sebagai onderdaan. Ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan dan memasuki era modern, istilah "kawula negara" tidak lagi digunakan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam perpustakaan Inggris, istilah "warga negara", "warga negara", "warga negara", atau "civitas" digunakan. Karena itu, akan berguna untuk menjadi bidang kewarganegaraan.Pendidikan merupakan upaya manusia dengan sadar yang bertujuan untuk menumbuh kembangkan potensi individu agar menjadi anggota masyarakat dan warganegara yang cerdas.
Mata pelajaran PPkn, adalah mata pelajaran yang bukan hanya memiliki tujuan pada ranah kognitif saja (pengetahuan), namun juga bertujuan pada ranah sikap dan keterampilan dimana pendiidkan kewarganegaraan mengintegrasikan sikap dan keterampilan ini akan menjadikan karakter/kecakapan siswa dalam kehidupan sehari hari, salah satu keterampilan yang harus dimikili seseorang, dengan indicator sebagai berikut: (1) Kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global; (2) Kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memiliki tanggung jawab atas peran ataukewajibannya dalam masyarakat; (3) Kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan perbedaan budaya; (4) Kemampuan berfikir kritis dan sistematis; (5) Kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan; (6) Kemampuan untuk memiliki kepekaan terhadap lingkungan masyarakat dan mempertahankan hak asasi manusia.
Pengaruh pembelajaran Pendidikan Pancasila terhadap adversity Quotient
Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dapat memberikan pengaruh yang bsar terhadap peserta didik dalam 3 ranah yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tidak dapat dipisah pisahkan, menjadi satu keutuhan yang kompherensif sehingga peserta didik dapat menyelesaikan setiap masalah, tantangan, kesulitan serta hambatan yang dihadapinya dalam kehidupa sehari - hari. Peserta didik dapat memahami dan mencerna permasahan yang ada, kemudia dengan pemahamannya pesserta didik dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, kemudian sikap yang di miliki berharap peserta didik dapat bersikap dengan baik, tidak pustus asa, menyerah atau melakukan tindakan negatif, anarki atau membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.
Untuk itu pembelajaran di sekolah tentunya harus memberikan pengaruh besar terhadap Adversity Quotient peserta didik sebagi bekal dalam menghadapi tantangan global.
Terima kasih