Walaupun sudah lebih sepuluh tahun berlalu, semangat orde baru ini masih dilestarikan disini. Dimana? Yah di Kompasiana ini. Bagi anda yang tidak ingin dihujat jangan baca tulisan ini. Karena tulisan ini sepenuhnya akan menghujat anda. Jika anda tidak ingin dikritisi, jangan pula teruskan membaca. Hanya orang-orang berjiwa besar-lah yang boleh membaca tulisan ini.
[caption id="attachment_76637" align="alignnone" width="300" caption="Macem-macem? Tak Gebuk Kowe!"][/caption]
Orde baru memang memabukkan, bukan hanya mereka yang pro status Quo, namun juga para manusia yang enggan dikritisi. Seorang pengkritik selalu diposisikan sebagai musuh bersama yang harus diberangus. Di zaman itu entah berapa banyak media yang di bredel hanya karena menyuarakan kebenaran. Namun dengan alasan menggagu stabilitas negara semua di halalkan atas nama stabilitas. Di zaman tersebut entah berapa orang yang terpaksa dihilangkan, ditutup mulutnya bahkan dimusnahkan atas nama stabilitas.
Masih ingatkah anda dengan statemen Pak Harto yang menggunakan kata-kata "tak gebuk" semua yang tidak satu pandangan akan digebuk. Nah hal itu banyak saya dapati di Kompasiana ini. Semangat "tak gebuk" ini masih dilestarikan disini. Bagi yang tidak satu pandangan, satu keyakinan ya akhirnya digebuk. Kritik bukan diartikan sebagai sarana cermin untuk sama sama belajar dari kesalahan, namun yang ada hanya emosi. Sehingga yang terjadi kritik menuai komen dengan gebuk. Yah inilah fenomena yang masih terjadi disini.
Orang mengkritik bukan berarti benci, orang bersuara nyinyir bukan berarti berseberangan. Justru kita harus berbangga ketika kita dikritik. Artinya masih ada yang menyayangi kita. Sebagai ilustrasi, saat kita masih kecil banyak sekali kritik orang tua terhadap kita. Alih-alih bukan merasa nyaman dengan kritik orang tua, namun anak justru malah membenci orang tuanya. Padahal kalau kita akui secara jujur kritik orang tua kita adalah manifestasi sayang dari orang tua kita. Justru jika orang tua kita membiarkan kita berulah seenaknya, artinya orang tua kita tak peduli kan?
Walaupun dalam mengkritik ini ada seninya, namun tidak kita pungkiri bahwa tidak semua orang menguasai seni mengkritik kan? Memang dianjurkan juga melakukan kritik dengan bahasa halus, namun ketika kritik yang halus tidak menyadarkan, apakah kita tetap harus mengkritik dengan halus?
Mencermati fenomena kritik berbuah gebuk, tentu saja mengingatkan saya akan modus modus orde baru ini. Jika anda masih mempertahankan itu disini, saya tidak yakin kompasiana ini akan menjadi social media terkemuka. Justru dengan adanya kritik berbuah gebuk, hanya menjadikan kompasiana ini sebagai corong status Quo. Melestarikan sikap dan pemahaman tersebut, sama saja melestarikan warisan orde baru.
Saya memimpikan kompasiana dan kompasianers akan menjadi social media terkemuka. Namun jika mentalitas kritik berbuah gebuk ini masih dilestarikan, saya tidak yakin kompasiana ini akan survive di masa mendatang. Yang ada hanya tulisan yang menyanjung dan menjilat dan tidak lebih dari itu. Lalu cita cita kompasiana sebagai Citizen Journalism yang mengedepankan aspek Sharing. Connecting hanya sebuah lips service belaka. Dan bukannya kita memasuki orde reformasi, justru kita menghadapi apa yang disebut sebagai "Orde Batu". Semoga di tahun keduanya ini komunitas Kompasiana akan lebih menunjukkan kedewasaannya, dan bukan hanya komunitas kompasiana saja, namun saya memimpikan individu individu admin kompasiana juga mafhum terhadap kritik seperti ini. Selamat Ulang tahun kompasiana! I love you full!.
Mas PINK
Nijmegen, November 2010
Gambar: www.google.co.id
Disclaimer: Tulisan ini merupakan sebuah otokritik terhadap komunitas Kompasiana. Semoga bermanfaat bagi kemajuan Kompasiana dimasa yang akan datang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H