Lihat ke Halaman Asli

Keluarga, (Budaya) Literasi, dan Masa Depan Bangsa

Diperbarui: 30 September 2019   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada bulan Maret lalu, Surat Kabar Harian (SKH) Kompas menyajikan sebuah berita yang cukup menarik, khususnya bagi dunia perbukuan dan literasi, yakni perhelatan London Books Fair 2019 di London, Inggris. Dalam berita yang berjudul "Peluang Majukan Perbukuan Nasional" itu disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara tujuan pemasaran (market focus country) di mana terdapat 450 judul buku, 20 penerbit, dan 12 penulis yang hadir pada ajang pameran buku terbesar dan tertua di dunia itu. 

Dan yang lebih mengagumkan lagi, pada sumber berita yang berbeda, Deputi Pemasaran Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Joshua Puji Mulia Simandjuntak, menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara Asia Tenggara pertama sebagai market focus.[1] 

Bukan kali ini saja. Keterlibatan Indonesia pada (pasar) perbukuan kancah internasional bermula pada tahun 2015 lalu, yang pada saat itu juga menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair, Jerman. Bahkan, jumlah pesertanya lebih besar dari tahun ini, di mana terdapat 120-an nama professional yang mewakili 9 kelompok karya, yaitu buku sastra dan fiksi, komik, buku anak, buku nonfiksi, digital, juru masak dan tokoh kuliner, aktivis literasi, narasumber seminar, serta pembaca karya.[2]

Tampilnya Indonesia pada ajang bergengsi semacam ini tentunya menjadi sebuah kebanggaan bagi kita sebagai anak bangsa. Karena selain membantu pertumbuhan ekonomi negara melalui sektor ekonomi kreatif, eksistensi peradaban kita di kancah global juga semakin mendapat tempat. Lalu, apa dampaknya bagi dunia literasi kita?

Berbicara soal literasi memang tidak bisa terlepas dari buku, meski buku atau karya tulis bukanlah satu-satunya media dalam berliterasi. Tapi, buku merupakan salah satu komponen siklus literasi: membaca-menulis-dibaca. Artinya, buku merupakan produk intelektual yang terlahir dari proses membaca. 

Oleh karena itu, jauh sebelum berbicara mengenai upaya menulis sebuah buku, hal pertama yang harus dipertanyakan ialah apakah si (calon) penulis suka membaca? Berapa banyak buku yang sudah dibaca? Sebab, sangat mustahil seseorang mampu menulis buku tanpa banyak membaca. Aktivitas membaca akan membentuk kecakapan dan kematangan intelektual seseorang di suatu disiplin ilmu tertentu. Sehingga dari situlah bakat menulis terlahir.

Pun setelah mampu menulis, hal yang tak kalah penting untuk dipikirkan ialah bagaimana agar buku tersebut bisa dibaca khalayak umum? Apakah buku tersebut layak dibaca? Siapa sasarannya? Seberapa penting membacanya? Seberapa jauh manfaatnya? Apa yang ditawarkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, individu, dan keterampilan? 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup penting untuk mengukur kualitas isi buku. Karena jika isinya bagus dan menarik, sebuah buku biasanya akan dengan mudah menemukan pembacanya. Begitu pun sebaliknya. Jadi, kualitas isi juga turut andil dalam menentukan nasib sebuah buku.

Tentu ini bukan perkara gampang. Menjadi seorang penulis bermutu tidak dapat dilakukan sebagaimana layaknya seorang politikus yang mengumbar janji saat kampanye. Menulis, selain membutuhkan tekad yang kuat, juga membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Karena itu, membentuk seorang penulis harus dimulai sejak dini. Tugas negara, dalam hal ini, ialah menjembatani lahirnya penulis-penulis andal secara berkelanjutan. Sehingga semakin banyak penulis-penulis lain yang berpartisipasi dalam pergulatan global.

 

Peran keluarga

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline