Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara(KHD) menjadi lilin penerang bagi pemikiran saya tentang dunia pendidikan. Pemikiran yang menuntun saya untuk membangun budaya positif dalam rangka menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi murid untuk mengembangkan kekuatan potensi mereka sehingga generasi terbaik Indonesia dapat terlahir.
Menurut Ki Hadjar Dewantara(KHD) Tujuan pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat pada murid agar mereka sebagai manusia bisa mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Visi pendidikan kita adalah bagaimana paradigma pendidikan Ki Hadajar Dewantara menyala disetiap kelas dan sudut-sudut sekolah bahkan mengakar dan membudaya ditengah-tengah masyarakat. Visi akan terus berkembang sesuai dengan keadaan zaman dan visi saya saat ini adalah memimpikan murid-murid yang beriman, mandiri, berprestasi dan berbudaya sehingga dapat berkontribusi positif ditengah-tengah masyarakat.
KHD menjelaskan bahwa semua murid ibarat benih dan guru adalah sang petani professional yang menyemai dan merawat benih dengan sesuai benih yang ditanam, jika ia jagung maka ia merawat nya sebagai benih jagung bukan sebagai benih padi. Jadi setiap murid istimewa dengan beragam potensinya.
Oleh karena itu guru perlu memahami bahwa murid hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri maka tugas sang penuntun adalah merawat dan menuntun tumbuhnya kodratnya. Oleh karena itu maka guru hanya dapat menuntun kodrat itu untuk menumbuhkan atau memperbaikinya bukan mengubah(dasarnya).
Untuk menuntun kodrat murid maka seorang pendidik “wajib ain” memahami diri sang murid dengan memenuhi lima kebutuhan dasar mereka sebagai manusia yaitu kebutuhan bertahan hidup, kebutuhan untuk diterima, kesenangan dan kekuasaan/penguasaan.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah menumbuhkan soft skill sang murid agar sesuai dengan “anggukan universal” atau kebaikan universal yang berisi tentang nilai-nilai kebajikan yang dipahami bersama oleh semua manusia sebagai common-ground untuk membentuk keyakinan sekolah atau keyakinan kelas yang disepakati bersama. Profil pelajar pancasila adalah terminal dari semua tuntunan yang diprakarsai oleh guru. Untuk dapat menuntun dengan baik maka sang penuntun sebaiknya memiliki nilai dan peran sebagai seorang guru penggerak yaitu;
- Mandiri
- Percaya pada kemampuan sendiri,tidak bergantung kepada orang lain dan dapat mengatur diri sendiri.
- Reflektif
- Mampu melakukan refleksi dengan melihat kembali apa yang telah dilakukan kemudian mengevaluasi untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
- Kolaboratif
- Bekerjasama dengan siapa saja untuk kemajuan pendidikan yang berkelanjutan.
- Inovatif
- Selalu memiliki ide baru dan berdaya cipta, daya rasa dan daya karsa.
- Berpihak kepada murid
- Kreatif dalam Menghadirkan pembelajaran yang sesuai dengan kekuatan kodrat peserta didik.
Saat nilai dan peran guru penggerak diatas telah menjadi ruh seorang guru penggerak maka guru sebagai agen of change yang siap memimpin perubahan dalam pembelajaran, memiliki kompetensi dalam mengembangkan diri dan orang lain, bahkan dapat memimpin manajemen sekolah serta memimpin pengembangan sekolah.
Perlu strategi yang super mantap untuk memimpin sebuah perubahan, yaitu sebuah pendekatan atau paradigma sebagai alat untuk mencapai tujuan. Jika diibaratkan seperti seorang pelari yang memiliki tujuan mencapai garis “ finish”, maka ia butuh peralatan yang mendukung selama berlatih seperti alat olahraga, alat itu disebut Inkuiri Apresiatif (IA).
IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Inkuiri Apresiatif adalah suatu filosofi sebagai landasan berpikir yang berfokus pada upaya kolaboratif menemukan hal positif dalam diri seseorang atau suatu organisasi. Jadi paradigma IA merupakan upaya kolaboratif(koperatif, ko-evolusi) untuk menemukan hal terbaik yang berbasis pada aset atau potensi.
Pendekatan Inkuiri Apresiatif dapat menjadi pemantik bangkitnya potensi inovasi dan kreativitas, serta menyatukan orang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh proses manajemen perubahan yang biasa. Paradigma IA yang berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi.
Supaya pendekatan IA dapat diwujudkan dengan efektif dan efisien maka perlu dialurkan dan agar alur tersebut mudah dilaksanakan maka lahirlah Konsep BAGJA yaitu; Buat Pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana, Atur Eksekusi.
Dengan alur BAGJA ini akan mempermudah seorang guru dalam melaksanakan visinya dengan mudah sehingga kekuatan positif komunitas dalam organisasi tergali karena masing-masing anggota berkolaborasi dan berkontribusi positif untuk melaksanakan visi atau nilai kebajikan universal yang telah disepakati bersama.
Ketika menuntun kodrat murid dilakukan dengan sepenuh hati maka akan melahirkan budaya positif yang berangkat dari motivasi intrinsik murid karena mereka telah memiliki visi masa depan yaitu kebajikan universal akan menjadi tujuan dalam setiap fase belajarnya sehingga mereka bisa hidup teratur dengan sendirinya dalam hidup bermasyarakat.
Berdasarkan hasil pengimbasan yang saya lakukan banyak teman-teman guru yang setuju bahwa hukuman dan penghargaan dapat mendisiplinkan murid meski harus dengan catatan tertentu atau sesuai dengan situasi dan kondisi murid saat itu, padahal menurut teori yang saya pelajari pada modul 1.4 program guru penggerak tentang disiplin positif hukuman apapun bentuknya akan menimbulkan luka hati sehingga kita perlu hati-hati dengan hukuman atau penghargaan karena penghargaan bisa menjadi hukuman ketika dilakukan kurang tepat karena akan menghilangkan tujuan mulia anak melakukan sesuatu.
Menghukum anak mungkin boleh saja asal sesuai porsi dan hukumannya relevan dengan kesalahan yang telah dilakukan anak, maka pendidik perlu sangat berhati-hati menggunakan kontrol ini karena jika salah akan membuat anak malah memberontak dan menganggap posisi pendidik menjadi tidak penting atau jauh diluar dunia berkualitas mereka contoh hukuman yang tidak relevan jika anak telat datang ke sekolah dihukum dengan keliling lapangan kan tambah telat, atau disuruh membaca atau menulis suatu kata hukumannya maka hukuman seperti ini tidak relevan, bukankah harapan kita adalah ketika anak melakukan kesalahan kemudian mereka menyadari kesalah kemudian memperbaiki prilakunya?
Perlu kita pahami bersama bahwa disiplin adalah belajar, dari belajar akan muncul nilai-nilai kebajikan universal dan nilai-nilai kebajikan akan menjadi tujuan yang akhirnya menjadi motivasi internal anak untuk mencapainya. Motivasi internal adalah tujuan disiplin positif misalnya kita ingin menjadi seorang seperti apa?, niatan tulusnya apa?
Begitu juga dengan guru sebagai teladan di sekolah bagi muridnya dapat dipastikan akan memposisikan dirinya sebagai manager bukan penghukum, pembuat merasa bersalah, posisi sebagai teman atau pengontrol, karena ia memahami bahwa setiap muridnya adalah manusia yang harus diperlakukan dengan mulia dan restitusi menjadi pilihan utama dalam memperbaiki kesalahan murid dengan model segitiga restitusi yang mengembalikan murid kepada kelompoknya dengan karakter yang lebih kuat.
Sebelum saya memahami budaya positif di sekolah saya sering memposisikan diri sebagai teman atau pemantau tetapi dilain waktu memposisikan diri sebagai penghukum dan pembuat merasa bersalah bagi murid ketika mereka melakukan kesalahan dan hal itu terlihat kurang efektif karena seperti menangani masalah namun dalam jangka panjang memunculkan masalah baru, hal itulah yang menyadarkan saya untuk mencari formula baru yang ideal yaitu memposisikan diri sebagai manager.
Ada beberapa hal baru yang saya rasakan setelah menerapkan budaya positif yaitu;
Hemat saya hukuman dan penghargaan adalah dua hal yang dapat memotivasi murid untuk belajar atau berprestasi namun hukuman dan penghargaan adalah motivasi eksternal yang pengaruhnya sangat pendek dan bisa berpengaruh buruk terhadap perkembangan psikologi murid.
Saya semakin percaya dan lebih memahami bahwa setiap tindakan anak pasti memiliki alasan atau tujuan tertentu sehingga saya menjadi lebih peduli kepada murid dan lebih bisa menahan emosi ketika mereka membuat masalah atau kesalahan.
Saya yakin bahwa restitusi adalah sebuah cara untuk menangani masalah murid tanpa merugikan atau menurunkan karakter murid. Restitusi adalah sebuah pilihan cerdas untuk menangani masalah tanpa masalah karena metode ini mengajak bukan memaksa, memperbaiki kesalahan bukan menebus kesalahan, fokus pada karakter dan solusi bukan tindakan,
Bertitik tolak dari kedua hal tersebut maka menurut saya restitusi memiliki kesamaan dengan prinsip-prinsip metode dakwah yang sering disampaikan oleh ahli agama yaitu ajakan bukan paksaan, menguatkan karakter bukan melemah, memiliki tujuan mulia. Saya merasa memperoleh energy positif ketika memposisikan diri sebagai manajer dan menerapkan metode restitusi untuk memperbaiki kesalahan murid.
Agar mereka bisa menjadi genarasi masa depan yang beriman, mandiri, berprestasi, dan berbudaya sesuai dengan visi pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan dapat berkontribusi positif kepada masyarakat, bangsa dan Negara maka seorang guru perlu terus mengasah kemampuan dalam merestitusi murid. Akhirnya semoga kita semua dimudahkan dalam menuntun potensi atau bakat murid bukan menakuti dengan hukuman atau sebaliknya memanjakan mereka dengan penghargaan yang kurang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H