Oleh Marzellyno Rafhael Mailissa, Mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
Dalam masa-masa pandemik Covid-19 ini, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bagi masayarakat untuk melakukan karantina mandiri dengan tetap beraktifitas di dalam rumah dan mengurangi kegiatan di luar rumah sebisa mungkin dan jika akan melakukan aktifitas diluar rumah, masyarakat diharapkan menggunakan masker untuk mencegah terjadinya penyebaran dari virus ini.
Namun perubahan dalam gaya hidup yang sedang diterapkan sekarang ini sama sekali tidak mempengaruhi sampah yang diproduksi. Sampah merupakan sebuah masalah di kota Sorong yang telah terjadi selama bertahun-tahun namun masalahnya masih belum terselesaikan. Pada tahun 2019 silam, kota Sorong telah dinobatkan sebagai kota terkotor oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Total sampah yang diproduksi masyarakat yang diterima oleh pihak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Makbon mencapai 15 kontainer dan 30% dari kontainer tersebut merupakan sampah plastik. Namun, total sampah ini masih belum dihitung lagi dengan sampah-sampah yang tersebar pada jalanan, selokan, sungai, dan juga sampah yang dibakar di setiap perumahan.
Akhir-akhir ini juga Sorong sedang mengalami musim penghujan sehingga sampah-sampah yang beserakan di selokan dan sungai dapat mengakibatkan banjir. Sampah-sampah yang berserakan di jalanan akan ikut terbawa dan dapat menyumbat selokan-selokan atau bahkan dapat masuk ke dalam perumahan. Air yang telah terkontaminasi oleh sampah ini tentu saja akan menyebabkan penyakit kulit seperti iritasi jika terjadi kontak dengan air. Iritasi pada kulit ini akan mengakibatkan luka sehingga dapat menjadi jalan masuk bagi bakteri atau bahkan virus covid-19.
Selain banjir, pembakaran sampah yang dilakukan oleh masyarakat juga dapat berdampak pada kesehatan paru-paru terutama jika sampah yang dibakar merupakan sampah plastik. Pembakaran sampah yang dilakukan masyarakat biasanya merupakan proses pembakaran tidak sempurna yang diakibatkan karena pembakaran tersebut tidak terjadi dalam suhu 500oC, pembakaran tidak sempurna ini akan menghasilkan senyawa dioxin yang bersifat beracun dan akan sangat berbahaya jika dihirup.
Selain itu pembakaran juga akan menghasilkan emisi CO (karbon monoksida) yang dapat mengganggu kesehatan. Orang yang terlalu lama terpapar oleh polutan tersebut (dioksin ataupun CO) dapat mengakibatkan permasalahan paru-paru. Menurut studi yang telah dilakukan, orang yang memiliki penyakit pada system pernapasan atau peradangan pada paru-paru ketika terinfeksi dengan virus Covid-19 dapat memperparah penyakit tersebut dan dapat mengakibatkan terjadinya kematian.
Pada TPA di Makbon, pengolahan sampah yang dilakukan dengan 2 metode yaitu penumpukan sampah di tempat terbuka (open dumping), dan pembakaran. 2 metode ini memiliki efek negative terhadap lingkungan yang dapat mengganggu kesehatan masayarakat disekitarnya.
Metode open dumping akan mengakibatkan bau dari sampah-sampah yang berasal dari sampah tersebut tercium oleh semua orang disekitarnya, selain itu lindi yang berasal dari sampah-sampah tersebut akan terserap oleh tanah dan masuk ke dalam badan air seperti sungai dan mencemari air dari perairan tersebut.
Jika masyarakat di sekitaran sungai tersebut menggunakan air tersebut untuk kehidupan sehari-hari seperti mandi, mencuci pakaian, atau bahkan mengkonsumsi air tersebut dapat menyebabkan diare dan iritasi kulit yang dapat menjadi jalan masuk bagi bakteri dan virus Covid-19.
Metode pembakaran yang dilakukan pada TPA di Makbon memiliki efek yang lebih parah dibandingkan dengan pembakaran tidak sempurna yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan volume sampah yang dibakar pada TPA lebih banyak dibandingkan pembakaran oleh masyarakat sehingga emisi gas CO dan dioksin juga menjadi lebih banyak dan membuat udara di sekitaran TPA tersebut menjadi berbahaya untuk dihirup.