Lihat ke Halaman Asli

Pesantren Pelestari Paham Ahlusunnah Waljamaah

Diperbarui: 30 Agustus 2016   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Marzani Anwar.

Adakah mata pelajaran Ahlus Sunah wal Jamaah (Aswaja) di pesantren?. Jawabnya “tidak ada”. Di Pesantren Salafi maupun pesanten modern, tidak ditemui mata pelajaran itu. Kenapa ?. Karena jawabannya ada di profilnya sendiri. Pesantren sejak awal, adalah pelaku utama dalam menjalankan ajaran Aswaja. Darah kepesaantrenan dari generasi ke generasi  adalah paham ahlussunah wal jamaah. Pesantren membangun tradisi, melalui pendidikan, dan pembudayaan, bergerak bersama paham tersebut, yang terus bertahan dari tahun ke tahun.

Keberadaan pesantren disangga oleh empat pilar: Pertama, keberadaan Santri. Mereka adalah subyek pengkderan amalan Aswaja, sekaligus bibit penggerak amalan ahlussunah wal jamaah. Kedua, adalah keberadaan Kyai. Ia adalah pemimpin komunitas sekaligus pengendali seluruh aktivitas kepesantrenan. Ia juga merupakan guru utama bagi semua santrinya. Ketiga, adalah materi pelajaran, yaitu kurikulum yang dipegangi dari masa ke masa. Keempat, adalah keberadaan Masjid. Fungsi masjid di samping sebagai rumah ibadah, adalah untuk praktek pengamalan keagamaan mereka, dan tidak jarang digunakan untuk belajar dan latihan ketampilan.    

Empat pilar pesantren itu, menurut teori struktrural, merupakan komponen yang tidak bisa dipisahkan.  Masing –masing memiliki fungsi, dan fungsi-fngsi itu saling terkait, saling menunjang serta saling mendukung.  

Kitab-kitab Sandaran

Kitab Kuning sangat lekat dengan tradisi pesantren. Seakan tak pernah lapuk ditelan zaman, kitab-kitab dasar tertentu dijadikan rujukan paling mendasar penyelenggaraan pendidikannya. Menjadi kewajiban bagi santri setelah seorang santri khatam membaca Al Qur’an, mendalami Ilmu Fiqih, Ilmu Alat, dan Akhlaq seeta Aqidah, yang dikenal dengan kitab kuning. Disebut “kitab kuning”, secara fisik karena warnanya kuning, dan secara kultur karena ketahanannya dari abad ke abad tahun ke tahun,

Di antaranya adalahkitabTa’lim Muta’alim.Kitab ini menjadi dasar yang menerangkan mengenai akhlaq di dunia pesantren adalah kitab Ta’limul-Muta’alim karangan Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji. Setiap awal proses belajar di pesantren sesuai adatnya pasti mempelajari kitab ini ataupun kitab lain yang seakar dengannya seperti kitab Adabul ‘alim wal Muta’alim karangan ulama’ besar Indonesia, Pahlawan Nasional sekaligus pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kedua kitab ini menjadi kurikulum wajib bagi pesantren yang ada di Indonesia.

Kitab Al-Ajurumiyah, yaitu kitab yang merupakan pedoman dasar dalam ilmu nahwu. Adapun tingkatan selanjutnya setelah Jurumiyah adalah Imrithi,Mutamimah, dan yang paling tinggi adalah Alfiyah. Al-Jurumiyah dikarang oleh Syekh Sonhaji dengan memaparkan berbagai bagian di dalamnya yang sistematis dan mudah dipahami. Kitab Amtsilah At-Tashrifiyah.Jika nahwu adalah bapaknya, maka shorof ibunya. Begitulah hubungan kesinambungan antara dua jenis ilmu itu. Keduanya tak bisa dipisahkan satu sama lain dalam mempelajari kitab kuning. Salah satu kitab yang paling dasar dalam mempelajari ilmu shorof adalah Kitab Amtsilah Tashrifiyah yang dikarang salah satu ulama Indonesia, beliau KH. Ma’shum ‘Aly dari Jombang. Kitab tersebut sangat mudah dihafalkan karena disusun secara rapi dan bisa dilagukan dengan indah. KitabAt-Taqrib,yaitukitab fiqh yang merupakan hasil turunan dari Al-Quran dan Al-Hadist setelah melalui berbagai paduan dalam ushul fiqh. Kitab Taqrib yang dikarang oleh Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy adalah kitab fiqh yang menjadi rujukan dasar dalam mempelajari ilmu fiqh. Di atas Kitab Taqrib ada Kitab Fathul Qorib,Tausyaikh,Fathul Mu’in, dan semuanya itu syarah atau penjelasan dari At-Taqrib[1].

Isi kitab-kitab adalah saling mengisi dan sekaligus membentuk kepribadian anak, yakni penanaman tauhid yang benar, ilmu alat agar bisa memahami kitab-kitab itu sendiri dan kitab rujukan lainnya yang ada di pesantren, dan sekaligus penanaman akhlaqul karimah yang khas pesantren.

Ilmu yang diperoleh dari membaca kitab-kitab tersebut, langsung diamalkan dalam lingkungan pesantren.  Interaksi santri-kyai dan hubungan antarteman, bisa terjadi setiap saat. Menjadi ajang penempaan kepribadian para santri. Di sanalah terjadi penanaman nilai, penanaman ilmu  alat, ilmu fiqih tersebut dalam “sekali waktu”.  

Dengan mempelajari kitab-kitab tersebut, otomatis ajaran Aswaja sudah tertanam. Sebagaimana diketahui, Aswaja Secara umum diartikan sebagai suatu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thariqah para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqih) dan hakikat (Tasawwuf dan Akhlaq).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline