Lihat ke Halaman Asli

Pembohongan Publik Cara Eden (Bag. 3)

Diperbarui: 1 September 2015   07:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Marzani Anwar

Ada seseorang anak umur belasan tahun yang kebetulan putera dari seorang pengikut eden, mengalami kecelakaan motor. Anak ini pernah diikutkan oleh ibunya menjadi saksi pada saat pengadalan Lia Aminuddin, tahun 2006, kasus “penodaan agama”. Dalam kesaksiannya, dia mengaku pernah disuruh membakar bagian mulutnya, sebagai bagian dari ritual penyucian. Kesaksian itu telah dijadikan alat bukti oleh hakim, adanya tindak pelanggaran pidana terhadap anak di bawah umur. Kebetulan Galuh juga mengaku pernah membakar foto Lia Eden.

Dengan kesaksian anak tersebut oleh Lia Eden, dipandang sebagai tulah atau kutukan tuhan karena kesaksiannya yang merugikan Lia eden. Padahal kasus kecelakaan seperti yang dialami anak tersebut, pada dasarnya adalah kasus biasa, seperti yang dialami orang lain yang sewaktu-waktu bisa terkena musibah. Namun oleh Lia didramatisir menjadi seakan-akan ada hubungan “sebab-akibat”, antara persaksiannya di pengadilan Lia Eden yang memberatkan dakwaan terhadap Lia, dengan nasib buruknya itu.

Cara pandang terhadap kasus itu sendiri, merupakan contoh kecil, betapa seorang Lia eden telah menempatkan diri menjadi bayang-bayang kekuasaan Tuhan. Dia sangat memperhitungkan tindakan seorang anak manusia yang hanya karena dia menunjukkan kebenciaan pada dirinya, disamakan dengan perbuatan ”membenci Tuhan”nya.

Sementara keadaan yang sering terjadi pada orang lain yang juga menentang eden, tidak terjadi akibat apa-apa dalam beberapa tahun belakangan ini. Penentangan itu bahkan lebih berat, karena mengarah pada penghujatan dan penyerangan dengan kekerasan, sebagaimana terjadi pada Desember 2005. Mereka yang secara terang-terangan adalah seperti para pendemo yang meneriaki dan hendak mengusirnya di sekitar rumah eden, berikut para penenentang eden lainnya, yang tidak secara langsung hadir di sana. Permusuhan terhadap eden juga ditunjukkan melalui tulisan dan pernyataan melalui email ke alamat milis komunitas eden.com, media face book dan medsos lainnya. Ada juga penentangan dalam bentuk buku berjudul: Kesesatan Lia Eden dan Agama Salamullah, (2004), ditulis oleh H.M. Amin Djamaluddin. Pengasuh majalah Sabili pernah juga dikutuk oleh Lia Eden, karena mereka pernah tidak mempedulikan kedatangan Abdul Rachman ketika berkunjung ke kantornya untuk menyampaikan sebuah peringatan.

Sejauh ini, para penentang eden tersebut tidak mengalami “akibat buruk” apa-apa atas perlakuan dan penghujatannya itu. Mereka, tidak memperoleh “penghakiman”, sebagaimana diancamkan Lia sang ruhul kudus.

Sampailah surat ancaman yang ditujukan kepada Presiden RI (waktu itu masih SBY), yang berbunyi sebagai berikut: “Apabila surat kami ini sekali lagi tak dipedulikan (maksudnya: ajakan untuk mengakui kerajaan Eden-pen), maka murka tuhan pun akan semakin keras dan tak tertanggulangi, karena gunung-gunung akan meletus dan dimungkinkan akan terjadi lagi terjangan tsunami, banjir, puting beliung dan gempa akan lebih sering lagi terjadi daripada sebelumnya. Wabah penyakit akan semakin marak, kebakaran-kebakaran berlanjut menimpa, horor metafisis mencapai puncaknya, kerusuhan-kerusuhan memuncak menjadi kerusuhan global nasional. Pemerintah manapun takkan bertahan. Ditegaskan pula dalam pernyataan yang lain, bahwa: “Satu-satunya jalan agar segala bencana ini tersudahi adalah mengakui Kerajaan dan Surga yang telah diturunkan tuhan di negeri ini, semoga tuhan segera membukakan mata hati para pemimpin dan rakyatnya untuk berkhidmat kepada-nya dengan tulus dan ikhlas sehingga segera terwujud damai dan sejahtera di bumi Indonesia ini.

Dalih untuk membenarkan penghakimannya itu dicarikan pembenaraan dengan adanya kejadian alam dengan tindakan yang menimpa Eden, seakan ada hubungan sebab-akibat. Terjadinya bencana alam itu sendiri selama ini selalu dinyatakannya ”setelah” peristiwa itu terjadi, yang berarti hanya sebuah justifikasi atau klaim sepihak. Namun kemudian diletakkan dalam hukum sebab-akibat dengan ajakan penyucian melalui risalah-risalah Eden.

Bila Eden yang tertimpa bencana
Bagaimana kalau kejadian musibah itu menimpa eden, baik individu atau komunitasnya. Entah besar atau kecil, musibah itu hampir pasti terjadi, sebagaimana dialami pada kebanyakan manusia. Masalahnya, bagaimana dengan musibah yang menimpa diri eden.
Sebagaimana terjadi pada diri Lia Eden, yang pernah terpuruk masuk penjara setelah divonis Pengadilan atas tuduhan penodaan agama. Mereka tidak menganggapnya sebagai ”penghakiman tuhan” atau azab tuhan. Kejadian itu, menurut mereka adalah sebagai ”penggenapan” atas perjalanan hidupnya meniti takdir kerasulan. Pengakuan dosa Lia di dalam “Confession”, diklaim sebagai tanda perkenan tuhan atas kelayakannya membawakan pesannya yang berat mengenai penghakiman. Pemahamannya diserupakan dengan paham yang mnyertai peristiwa penyaliban Yesus, di mana peristiwa dipandang sebagai penebusan dosa. Demikian juga pemidaannya di lembaga pemasyarakatan selama beberapa tahun tersebut, diserupakan seperti pengorbanan Maria yang mengikhlaskan atas dosa semua umat, semua agama, dan semua bangsa. Peristiwa itu dipandangnya sebagai bagian dari penyucian, dan hingga dilayakkan tuhan menjadi hakim atas nama-nya, sebagai jalan menuju surga.
Pandangan yang hanya mencerminkan keegoannya. Dirinya selalu dipandang sebagai subyek moral, dan orang lain selalu disasar sebagai obyek atau pelengkap penderita. Anak belasan tahun pun bisa menertawakan, kalau peminadanaan itu dianggap suatu “penggenapan” kenapa di persidangan menggandeng pengacara, dan para saksi yang meringankan.

#komunitaseden #liaaminiddin #tuhan #dosa #penghakiman #eden




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline