Bab 2
"Alvian, cerita sama ibu, siapa yang melakukan semua ini padamu?'' kuangkat wajahnya yang terus menunduk dengan jemariku.
Dia masih terdiam, tatapan matanya meredup. Amarah yang tadinya terlihat di matanya telah terganti dengan mendung kesedihan.
Posisiku yang berjongkok di depannya membuatku bisa terus mengamati perubahan wajahnya. Jujur aku sedih melihat keadaannya saat ini, menyesal karena telah membentaknya di depan teman-temannya tadi. Tidak seharusnya aku berbuat seperti demikian. Harusnya aku menanyainya terlebih dahulu sebelum mempermalukan dirinya di depan teman-temannya.
Kugiring tubuh kecilnya menuju mejaku, rasanya kakiku mulai pegal karena terus berjongkok di depannya, berharap dia mau bercerita, namun hasilnya nol. Alvian meringis, saat tak sengaja kusentuh bagian tengkuknya.
"Ya Allah, apa ini, Alvian?" Sekali lagi aku syok, ada benjolan di bagian tengkuknya. Segera kubuka kerah baju yang menutupi tengkuknya.
"Ya Allah!" tanpa sadar aku memekik, terkejut.
Memar dan juga benjolan sebesar telur ayam terpampang nyata di hadapanku.
Sungguh pemandangan yang sulit kupercaya. Bagaimana mungkin anak sekecil ini mengalami penganiyayaan sekejam ini. Sulit kugambarkan persaaanku, pikiranku sudah melayang-layang entah kemana? Apa mungkin ibunya yang melakukan ini? apakah ada ibu yang tega melakukan hal sekeji ini terhadap anak kandungnya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berseliweran di kepalaku.
Setelah dia duduk di hadapanku, segera kuhapus linangan air mata yang sejak tadi membajiri pipinya. Kuberi waktu padanya untuk menenangkan diri.
Segelas air minum langsung tandas saat kusodorkan di hadapannya. Aku sendiri juga merasa haus, namun segelas air yang kuminum tak mampu menawarkan rasa itu.
"Bu, boleh aku pulang?"