Ti--tidak, Bu! Aku tidak mengambil uangnya!"
"Aku bukan pencuri!"
Bocah lelaki berusia 7 tahun berambut ikal itu menampik tuduhan temannya. Sesekali dia menyusut air mata dengan jemari kecilnya. Jujur ada rasa iba melihatnya menangis sesenggukan seperti saat ini, akan tetapi perbuatannya kali ini benar-benar menguji kesabaranku yang setipis tisyu.
"Tapi, Bu, aku melihatnya! Dia mengambil uang dalam tasku saat meminta air minumku!" tegas bocah teman duduknya dengan air mata di pipi. Gurat marah dan kecewa terpancar di wajahnya. Suasana kelas pagi ini hening, hanya sesekali terdengar bunyi krasak krusuk dari bangku belakang. Mungkin anak-anak terkejut melihat aku yang jarang meninggikan volume suara tiba-tiba membentak Alvian dengan sangat keras.
"Alvian, sekali lagi ibu tanya, apa benar kamu yang mengambil uang Fauzan?" Volume suaraku mulai merendah, berharap bocah bermata lentik itu mengakui kesalahannya.
Tak ada jawaban. Kulihat keraguan di matanya, dia menunduk saat tatapan kami bersirobot. Air matanya bertambah deras. Tangannya mengepal seperti hendak memukulkannya dengan keras. Titik-titik bening mulai membanjiri keningnya. Bahkan baju bagian belakangnya basah oleh keringat.
Aku menarik nafas berat kemudian menghembuskannya pelan. Ini bukan kali pertama Alvian jadi tersangka pencurian uang temannya, bahkan hampir setiap hari ada saja anak dalam kelasku yang kehilangan uang dan semua tuduhan selalu mengarah padanya.
"Baiklah! Fauzan, kamu duduklah dulu," kuelus kepala bocah berwajah tirus itu lembut sambil kusodorkan uang lima ribu rupiah sebagai pengganti uangnya yang hilang. Perasaannya, kecewa pasti, uang jajan yang sudah beberapa hari dikumpulkan untuk membeli crayon tiba-tiba raib dalam tasnya. Pengakuannya, dia melihat sendiri Alvian merogoh kantong tasnya saat meminta air minum yang dibawanya.
Fauzan melangkah gontai menuju deretan paling belakang bangkunya. Beberapa hari ini, ia memang selalu memintaku untuk pindah tempat duduk karena tak nyaman sebangku dengan Alvian yang selalu jadi biang kerok masalah di kelas.
"Alvian, kamu ikut ibu ke kantor!" titahku setelah memberikan tugas kepada anak didikku yang lain.
Alvian bergeming di tempatnya berdiri sejak awal. Tak ada tanda-tanda bahwa dia akan mengikuti perintahku. Bocah tampan itu masih menundukkan wajahnya. Kilatan amarah dari mata beningnya yang kini memerah seakan menggambarkan apa yang dirasakannya. Aku tahu dia marah dan malu, tetapi tak seharusnya dia tak menaati perintahku.