Momentum 2014 merupakan momentum yang akan sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. tahun ini akan terjadi pesta demokrasi terbesar di Indonesia yakni pemilihan umum (pemilu) DPR dan Presiden serta wakilnya. Berbicara pemilu berarti kita akan berbicara bagaimana memperoleh kemenangan (kekuasaan). Di tengah arus liberalisme perpolitikan kita, basis ideologi bukan lagi menjadi landasan untuk bertindak. Kepentingan akan menjadi dominan untuk meraih kekuasaan meskipun ideologi (partai) harus dinafikan. Sehingga demi kekuasaan, semua cara pun dilakukan meskipun melanggar nilai keluhuran ideologi dan kemanusiaan.
Sistem (mekanisme) perolehan kekuasaan seperti ini akan memberi gambaran tentang prilaku wakil rakyat ketika mereka sudah terpilih. Politik bukan lagi dilihat sebagai pengabdian melainkan sebagai bagaimana memenuhi hasrat pribadi di atas kepentingan masyarakat secara umum. Padahal, kekuasaan yang dimandatkan adalah hasil kontrak sosial mereka (baca:s wakil rakyat) dengan rakyatnnya untuk memberikan kemaslahatan bagi rakyatnya pula.
Kasus demi kasus sudah membanjiri pengihatan dan pendengaran kita. Media massa bagaikan sampah politik Indonesia yang mengabarkan tentang perilaku buruk para wakil rakyat dan kondisi negara kita. Kasus korupsi century sampai hari ini belum memberikan hasil akhir yang memuaskan. Malah tertutupi oleh kasus korupsi baru yang tak kalah besarnya dengan kasus sebelumnya. Siklus kasus ini berlangsung terus menerus dan saling tutup menutupi hingga tak satupun terselesaikan. Belum lagi perilaku wakil rakyat yang tak bermoral, lemahnya pemimpin, perilaku wakil rakyat yang lebih senang bertamasya keluar negeri dengan kedok studi banding yang menghabiskan uang rakyat miliyaran rupiah, malasnya wakil rakyat mengikuti rapat pengesahan UU atau kalaupun UUnya disahkan tidak serta merta memilhak pada rakyat, malah ditunggangi segelintir kepentingan tertentu dan masih banyak lagi kasus yang memusingkan rakyat Indonesia yang tengah mengalami krisis multidimensional.
Kondisi ini, mengindikasikan bahwa para wakil rakyat hanya mengkonsentrasikan perhatiannya pada kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka telah menyalahi tugas idealnya sebagai wakil rakyat yang telah dimandatkan oleh rakyatnya sendiri. Bagi mereka politik tidak lagi sebagai instrument untuk memberikan kemaslahatan kepada rakyat. Malah politik hanya dilihat sebagai instrument memenuhi nafsu pribadi dan kelompoknya. Mereka saling 'bunuh-membunuh' demi menyembunyikan dan memenangkan kepentingan tertentu. Mereka (baca: wakil rakyat) telah mencerabut fungsi ideal dari politik itu sendiri. Bukankah seorang filsuf politik pernah berkata: politik adalah pengabdian kepada rakyat, jadi hidup untuk politik bukan hidup dari politik.
Makassar (kafe ad-dina), 13 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H