Lihat ke Halaman Asli

Waria jelang Senja

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tubuhnya renta dimakan perlahan usia yang menua.Sisa sisa kerasnya hidup tergaris dikerutan tak beraturan di wajahnya yang acak tak berpola.Dia lah Seorang waria tua yang kukenal bukan saat ini saja,jauh sebelum aku mengenal cinta seorang Pria aku telah mengenal Waria Tua ini . Salon tua tempat ia mengais rezeki masih nanar menatap masa depan melalui poster potongan rambut entah kapan tahunnya.Poster itu mungkin seumuran dengan usia salonnya.Melihat Poster itu sama aku melihat sebuah cermin waria tua dan masa lalunya.Dulu ia begitu terkenal dikampung saya,Sering dipanggil panggil warga terdekat untuk urusan make up dan pelaminan.Sering berbicara frontal tentang pria pria yang ia kenal dalam semalam,Tidak peduli betapa balitanya saya dipaksa mendengar ocehanya tentang kebanggaanya menakluklan pria pria dilema di penghujung malam yang suram segelap kisah cintanya.

Waktu memang mengila mengusur jaman keemasanya,meruntuhkan abad kejayaanya, memaksanya untuk tetap terpana diam dengan segala perubahan perubahan yang ada,lalu dia terpinggirkan ditengah salon tuanya yang ramai dipenuhi tertawa kecoak,serta curhatan cicak yang mungkin juga seumuran dengan salonnya,atau mereka telah beranak pinak sampai generasi ke tujuh,namun ia tetap berharap ada yang singgah untuk sekedar memotong rambut demi penyambung hidup di usianya yang beranjak senja .Lalu kemana Para Pria yang ditemuinya waktu itu,yang ia bangga banggakan waktu menaklukan mereka di tengah malam yang riuh redam,lalu pagi hingga siang berkoar koar tentang hebatnya ia semalam.waktu oh Waktu,Cepat sekali kau menelan kebangganya dan menyisakan seonggok daging dengan tatapan jatuh kedalam penyesalan serta sedikit kebanggan tersisa di piala piala ratu kecantikan Waria,Ratu kebaya Waria dan piala piala kebanggan di abad kejayaanya.

Saya masih diam seribu bahasa di dalam salonnya yang tua, saya pandangi deretan piala yang usang dan berkubang.saya tatap deretan pakaian sewaanya yang sudah tidak cocok lagi di zaman sekarang.dan Saya lihat wajah saya ke cermin tampak makin kusam, apakah ini salah wajah saya atau kacanya yang buat wajah saya tidak berpola. Lalu saya pandangi wajahnya yang makin acak tidak berpola ,selain sisa silikon silikon murah yang ia suntukin di dagu,di hidung, dipipi,semua memerah semerah warna rambutnya yang juga mulai kusam tak tampak sisa sisa kejayaanya lagi.

Dialah Waria jelang senja.Menanti sisa sisa umurnya yang acak tidak berpola ditengah salon tuanya yang sesak,berkubang dengan kenangan kenangan dan sejarah sejarah seorang Waria,yang kenyang akan pahitnya penolakan demi penolakan,cibiran cibiran,hinaan hinaan,dan berkubang dengan kehidupan malam demi melepaskan birahinya atau memuaskan Pria Pria dilema petualang malam yang panjang lalu meninggalkanya di tengah jalan selepas ia memuaskan hasratnya,lalu lolongan Anjing dan pekikkan Srigala menenggelamkan tangisan Waria yang masih berharap ada cinta dari Pria yang ia jumpai semalam dan waktu menunjukanya sampai usia senja denga tubuh renta semua Pria Pria yang ia temui ternyata tidak ada yang mencintai dan mmendampiginya sampai tua seperti harapanya meski ia sadar ia hanyalah seorang Waria.Kini dia hanya menanti nanti kapan tiba waktunya untuk pulang selama lamanya lalu berharap semua dosa dosa menguap begitu saja.Dan ia hembuskan napas dalam dalam lalu berujar "Entahlah,Semua terasa Fana.

Waria Jelang Senja,Penghujung Mei 2015 di sebuah Salon Tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline