Rintihan jerit menelisik.
Masuk ke dalam rongga pendengaran dengan berisik.
Bau anyir darah bercampur dengan kepulan asap sungguh mengusik.
Deraian air mata dan tangis kehilangan orang terkasih sungguh memilukan.
Kelaparan bahkan kehausan jadi sesuatu yang biasa dalam nestapa mereka.
Sayup-sayup terdengar seruan menghadap Rab pencipta Alam dengan sedikit bergetar haru dan pilu.
Harapan besar terbangun dalam diri mereka tentang "keajaiban" melalui tangan para saudara.
Nyatanya mereka harus berharap pada diri sendiri tanpa orang-orang yg disebut saudara.
Pintu rumah para saudara tertutup rapat.
Mereka hanya mendengar dari balik tembok tinggi bernama "nasionalisme" tentang kecaman dan makian pada para perenggut nyawa.
Para saudara tak mampu mendobrak dinding yang memenjara.
Memisahkan sesama saudara dengan sekat-sekat.
Bahkan ada yang sengaja mengunci pintu karena ketakutan dan pengagungan pada perenggut nyawa yang nyata.
Sungguh ironi, pikiran, batin dan laku tak mampu berbuat banyak selain doa dan sesuap makanan penyambung hidup.
Nyatanya itupun tak selalu bisa mereka gunakan menyambung hidup.
Terkadang nyawa terenggut lebih cepat akibat timah panas atau ledakan yang meluluh lantakkan.
Lantas apa yang bisa dilakukan para saudara yang bukan lagi saudara karena sekat pemisah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H