Lihat ke Halaman Asli

Dyah Astiti

Pembelajar

Utang Luar Negeri Meningkat, Haruskah Kita Masih Merasa Aman?

Diperbarui: 15 Maret 2024   07:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: Indoraya News

Utang luar negeri adalah sesuatu yang seolah tidak bisa dipisahkan dari perokonomian negeri ini. Salah satu sumber pemasukan yang mau tidak mau harus diambil dan dikembalikan dengan tambahan bunganya. Dari hari ke hari jumlahnya terus saja meningkat.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah naik menjadi Rp8.253,09 triliun per Januari 2024.
Jumlah utang ini naik sebesar Rp108,4 triliun dibandingkan utang di Desember 2023, yakni sebesar Rp8.144,69 triliun. Adapun rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah batas aman 60 persen. Rasio utang per Januari 2024 berada di level 38,75 persen (cnnindonesia.com)

Rasio utang ini di anggap lebih baik dari yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2024-2027 di kisaran 40 persen," begitu isi laporan Kemenkeu dalam Buku APBN Kita. Meski rasio utang ini di anggap lebih baik. Nyatanya utang itu terus naik dari hari ke hari. Dan hal tersebut tentu memiliki resiko yang bisa saja mengancam negeri ini.

Direktur Riset CORE Piter Abdullah Redjalam mengatakan, semakin meningkatnya utang luar negeri akan menjadikan struktur pembiayaan anggaran sangat rentan terhadap pelarian modal secara tiba-tiba. Masalah lain, ketergantungan pada modal asing menimbulkan risiko pelemahan nilai tukar rupiah. Lebih lanjut, kurs rupiah yang tak stabil akan memberi tekanan baru ke industri. Khususnya bagi industri yang bergantung pada bahan baku impor, karena menggunakan dolar AS sebagai mata uang transaksi. Namun kursnya justru melambung dari rupiah (finance.detik.com)

Dari pemaparan di atas terlihat bahwa dampak utang luar negeri bisa meluas dan menyusahkan negeri ini ke depan. Apalagi lebih jauh dampaknya bisa berpengaruh pada tidak independennya negara. Secara politis utang ini mengandung kompensasi yang besar. Penyebabnya karena utang luar negeri, menjadi alat campur tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan pemerintah. Hal ini beresiko pada munculnya kebijakan-kebijakan yang bisa jadi menguntungkan negara pemberi utang.
Bahkan, Kenen (1990) dan Sachcs
(1990) dalam Sritua Arief (1998) mengatakan bahwa hutang luar
negeri telah menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi bagi negara yang punya utang besar, bahkan lebih jauh lagi utang luar negeri telah membawa banyak
negara berkembang yang memiliki utang besar masuk ke dalam jebakan utang (debt trap) dan ketergantungan hutang (debt
overhang).

Seolah utang adalah satu-satunya solusi untuk ekonomi yang semakin menukik tajam. Untuk saat ini seakan pemerintah memang tak punya pilihan, selain terus menambah jumlah utang. Mengingat sumber pemasukan negara sangat bergantung pada pajak dan utang.

Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem dengan paradigma kapitalistik yang menilai segala sesuatu dari sisi manfaat. Paradigma kapitalistik menjadikan utang sebagai penutup defisit menjadi sesuatu yang wajar. Termasuk wajarnya penguasaan sumber daya alam oleh asing atau swasta karena ketidak jelasan pembagian kepemilikan atau adanya liberalisasi.

Kondisi ini berbeda dengan Islam. Islam jika diterapkan secara sempurna akan memiliki perkonomian yang kuat. Dari aspek ini, sepertinya kita juga perlu melihat bagaimana pengaturan sistem ekonomi dalam sistem Islam. Berikut beberapa poin pentingnya.

1. Islam mengharamkan transaksi riba. Selain karena memang dilarang secara syariat. Taransaksi riba ini sangat memungkinkan memunculkan kezaliman dalam masyarakat. Dalam Islam, pinjaman dikategorikan sebagai aktivitas sosial. Baitul Mal menyediakan pos khusus untuk memberikan bantuan modal bagi pihak yang membutuhkan, seperti para petani dan pedagang.

2. Pengharaman pasar modal, keuangan, komoditas berjangka yang dibangun atas transaksi-transaksi yang bertentangan dengan Islam. Sehingga ekonomi berjalan berdasarkan sektor ekonomi riil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline