Lihat ke Halaman Asli

Marvelin Ang

Mahasiswa ilmu komunikasi

Perubahan Sosial: Emansipasi Wanita

Diperbarui: 20 Maret 2021   22:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1. Ibu Kartini

Mungkin teman-teman pernah mendengar ada orang yang mengatakan "Jadi wanita di zaman sekarang enak ya, bisa sekolah dan mengejar cita-cita, bisa bekerja, bahkan bisa berkarya. Zaman saya dulu, wanita itu tugasnya hanya di rumah, mengurus dapur dan suami". Apa yang muncul di benak teman-teman ketika ada orang yang mengatakan hal seperti itu? Pernahkah teman-teman berpikir bahwa ternyata kebebasan yang dapat dirasakan oleh wanita pada saat ini bukanlah suatu hal yang mudah. Ada harga yang harus dibayar agar wanita bisa merasakan kebebasan seperti saat ini.

Aulia (2016) pada artikelnya menjelaskan mengenai bagaimana kehidupan wanita pada zaman dulu. Wanita pada zaman dulu wajib kerja di dapur, wajib mengurus anak dan suami, kesulitan untuk belajar dan pergi ke sekolah, harus menurut pada suami, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, salah satu pejuang emansipasi wanita yang paling dikenal adalah R. A. Kartini. Ibu Kartini lahir di Rembang, 21 April 1879. Ibu Kartini prihatin dan merasakan adanya diskriminasi antara laki-laki dan wanita pada masa penjajahan karena pada zaman itu wanita tidak diperbolehkan mendapatkan pendidikan, hanya wanita bangsawan yang berhak memperoleh pendidikan (Welianto, 2019).

Ibu Kartini merupakan anak dari Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat yang merupakan Bupati Jepara, sehingga beliau dapat menempuh pendidikan di Europes Lagere School (ELS). Akan tetapi, Ibu Kartini hanya bisa memperoleh pendidikan hingga umur 12 tahun karena menurut tradisi Jawa anak wanita harus tinggal di rumah sejak umur 12 tahun sampai menikah. Terlebih ketika Ibu Kartini harus menikah dengan seorang bangsawan Rembang bernama KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 1903, keinginan Ibu Kartini untuk melanjutkan pendidikan pun harus terkubur. Setelah menikah, Ibu Kartini tetap memperjuangkan kaum wanita agar dapat memperoleh pendidikan seperti laki-laki dengan menuliskan pemikirannya di majalah De Hoandsche Lelie. Selain itu, Ibu Kartini juga mengirimkan tulisannya kepada teman-temannya di Belanda, salah satunya bernama Rosa Abendanon. Akhirnya pada tahun 1922, tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah dan yang dikirim ke teman-temannya dibukukan oleh Jacques Henrij Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda (Welianto, 2019). Judul bukunya adalah Habis Gelap Terbitlah Terang.

Gambar 2. Buku Habis Gelap Terbitlah Terang

Saat ini, kita bisa melihat dampak positif perjuangan Ibu Kartini bagi wanita. Jika pada zaman dahulu wanita hanya boleh di dapur, saat ini wanita boleh berkarir bahkan wanita boleh menjadi seorang pemimpin. Contohnya adalah Ibu Veronica Yosephine Sinaga yang memiliki jabatan sebagai Direktur Utama PT Indonesia AirAsia (AirAsia Indonesia). President (Airlines) AirAsia Group, Bo Lingam (dalam AirAsia Newsroom, 2019) mengatakan, Veranita merupakan sosok yang tepat untuk membawa AirAsia Indonesia ke masa depan, terutama dengan kecakapannya dalam bidang komersial dan jiwa kepemimpinan serta semangat kolaborasi yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini wanita telah diperbolehkan untuk menjadi pemimpin. 

Gambar 3. Ibu Veronica

Selain itu, ada juga artis Indonesia bernama Dian Sastrowardoyo yang dikenal sebagai sosok yang cerdas, memiliki peran sebagai ibu, dan wanita yang menjunjung kesetaraan gender. Pada tahun 2016, Dian terpilih untuk memerankan karakter Ibu Kartini dalam film Kartini. Dian dalam wawancaranya dengan Kompas.com menjelaskan bahwa ia punya tanggung jawab besar untuk memerankan sosok hebat dengan segala keterbatasan di zamannya, sementara sekarang kondisi itu tak terjadi (Agmasari, 2016). Wanita tidak lagi terkekang, mereka bebas untuk berkarir dan menjalankan perannya. Bahkan saat ini kita kerap kali menemukan wanita yang menjalankan 2 peran sekaligus, yaitu menjadi seorang pekerja dan menjadi ibu. 

Gambar 4. Dian Sastrowardoyo

Emansipasi wanita merupakan salah satu bentuk perubahan sosial. Apa itu perubahan sosial? Selo Soemarjan & Soelaeman Soemardi (dalam Rosana, 2011) mengemukakan bahwa perubahan sosial diartikan sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut. Emansipasi wanita termasuk ke dalam perubahan sosial karena ada perubahan dari cara hidup dengan budaya patriarki yang sangat kental menuju kesetaraan gender. Dalam perubahan sosial ada beberapa teori yang berlaku, salah satunya adalah teori konflik yang dipengaruhi oleh beberapa pemikiran ahli seperti Karl Marx dan Ralf Dahrendorf. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline