Ganti menteri, ganti kurikulum. Adagium ini selalu muncul setiap kali pergantian menteri di bidang pendidikan. Seolah-olah ini menjadi credo pendidikan kita. Kadang yang diganti hanya istilah saja, tanpa perubahan esensi. Guru sebagai elemen penting pendidikan justru kurang menjadi fokus perhatian. Apakah kalau tidak mengganti kurikulum, menteri terkait merasa tidak berkarya?
Tidak ada yang dapat membantah betapa penting kurikulum dalam keseluruhan visi pendidikan. Kurikulum, dari akar katanya dalam Bahasa Latin -currere artinya berlari atau lintasan lari- merupakan 'seperangkat rencana pembelajaran yang dirancang secara sistematis untuk membimbing peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan' (Hilda Taba, 1902-1967).
Tanpa kurikulum, seluruh proses proses pembelajaran yang dibuat guru akan kacau dan kehilangan arah. Guru tidak tahu apa yang akan dilakukan dan ke mana arah pendidikan jika tidak ada pegangan yang jelas. Kurikulum merupakan kompas yang menuntun dan mengarahkan guru dalam merancang serta memberikan pengalaman belajar yang tepat bagi murid-murid.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia menyatakan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Jelaslah bahwa kurikulum adalah faktor inti pendidikan.
Sebagai aras pendidikan, kurikulum perlu dirancang sedemikian rupa sehingga sungguh-sungguh berdaya untuk membangun peradaban bangsa. Sungguh disayangkan apabila kurikulum dibuat hanya untuk memenuhi ambisi seseorang meninggalkan monumen. Perlu disadari, seluruh perangkat pendidikan ada untuk menyiapkan generasi mampu hidup di zaman yang belum diketahui.
Karena menerangi masa depan, kurikulum memang harus berubah. Kita tidak bisa stagnan. Tidak tepat apabila kita menggunakan lampu teplok di era yang serba elektrik dan digital. Kurikulum pendidikan harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman agar efektif dan efisien. Orang Latin mengatakan, Tempus mutantur et nos mutamur in illis. Zaman berubah dan kita pun berubah di dalamnya.
Namun, dalam seluruh perubahan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan zaman, seharusnya ada hal yang tidak berubah, yakni nilai (value). Milton Rokeach dalam bukunya The Nature of Human Values (1973) mengatakan nilai adalah keyakinan yang bertahan lama terkait cara bertindak atau keadaan akhir tertentu yang lebih diinginkan secara pribadi atau sosial. Apa values pendidikan Indonesia?
Pertanyaan di atas harus menjadi bahan refleksi awal para penggubah kurikulum pendidikan. Tanpa menemukan dan merumuskan nilai-nilai inti, kurikulum hanya akan menjadi setumpuk dokumen yang tidak memiliki jiwa (core). Kurikulum tanpa jiwa dipastikan tidak akan mampu menggerakkan insan-insan pendidikan. Buahnya sudah dapat dibayangkan akan berujung pada kegagalan.
Jadi, sah-sah saja Kurikulum Merdeka diubah menjadi Kurikulum Deep Learning atau apa pun namanya. Namun, apa core values dari kurikulum yang baru itu? Mau ke mana seluruh proses peradaban bangsa ini akan diarahkan melalui kurikulum? Akan seperti apa bangsa ini satu abad atau satu milenium mendatang? Hal ini harusnya pertama-tama yang ada dalam benak pembuat kurikulum.
Sekadar tahu, nilai inti Kurikulum Merdeka ada dalam Profil Pelajar Pancasila, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia; berkebinekaan global; bergotong royong; mandiri; bernalar kritis; dan kreatif. Jiwa kurikulum ini, menurut saya, sudah visioner. Nilai-nilai kebangsaan otentik yang menjadi visi adiluhung para pendiri bangsa coba dibawa ke dunia masa kini.
Guru: Hidden Curriculum