Sore menjelang malam. Langit tampak menguning di bagian barat. Mentari tersenyum dari balik awan hendak pamit meninggalkan siang. Udara petang terasa menyejukkan kulit. Burung-burung bersuka cita bertingkah di ranting pepohonan dengan berkicau bersahut-sahutan seperti sedang berbalas pantun. Mereka bersiap diri pulang ke peraduan untuk menghimpun tenaga kembali menjalani hari esok dengan semangat baru yang lebih bergairah.
Tiga remaja duduk santai di tempat duduk yang terbuat dari beton di tengah halaman perkampungan mereka. Ada Enia Melissa (13), Zefanya Heavenly (13), dan Arini Lestari (13). Mereka saling melempar percakapan sambil bersenda gurau. Entah apa yang mereka perbincangkan. Sesekali terlihat senyum meluncur dari bibir mereka. Sejurus kemudian muncul tawa riang khas orang-orang yang bersahabat. Susana yang tersaji begitu bahagia.
Menyaksikan keakraban mereka yang tak berjarak, tak disangka kalau Enia, Zefanya, dan Arini berasal dari latar belakang yang berbeda. Enia berasal dari etnis Toba, sedangkan Zefanya dan Arini etnis Karo. Dua etnis ini memiliki perbedaan adat istiadat yang mencolok, sekalipun sama-sama tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara dan sekitarnya. Mereka malah terlihat seperti saudari kembar. Gaya bicara dan berpenampilan mereka menjadi seperti serupa.
Tak seberapa jauh dari tempat mereka bersantai, sepuluhan anak laki-laki asyik bermain guli di hamparan rumput. Tampak lokasi itu sudah terbiasa mereka gunakan bermain. Rumputnya sudah kerdil akibat terlalu sering diinjak. Bahkan sebagian sudah gundul, alias tinggal tanah. Celotehan khas anak-anak begitu saja keluar dari mulut mereka. Kata-kata yang keluar kadang 'kurang sopan' dan itu spontan, seolah-olah sudah menjadi bumbu perekat keakraban mereka.
Latar belakang anak-anak itu beragam. Bukan hanya beragam suku seperti remaja cewek di atas, tetapi juga agama dan keyakinan. Dari nama-nama mereka saja sudah tampak perbedaan agama. Ada yang bernama Akbar, Jonathan, Febri, Sabar, Gabriel, Yosef, Rizal, dan sebagainya. Hubungan mereka sangat natural, bukan diatur-atur, sangat khas bocah-bocah kampung yang saban hari berjumpa dan bersama melakukan kegiatan apa pun yang mereka suka.
Contoh Terbaik Moderasi
Itulah suasana perkampungan anak SOS Children Village atau sering disebut SOS Desa Taruna Medan. Perkampungan ini yang sebenarnya panti asuhan ini sengaja didesain sedemikian rupa sehingga interaksi semua penghuninya sungguh-sungguh cair secara alami. Ada sebanyak 13 belas rumah tinggal di area yang beralamat di Kecamatan Medan Tuntungan tersebut, ditambah ruang serba guna, kantor, pendopo, dan sekolah TK. Ada juga lapangan olahraga sederhana.
Rumah-rumah dibangun berjejer berbentuk oval. Jarak antarrumah kurang lebih 5 meter. Dengan bagian tengah yang memanjang membentuk taman bermain, sementara semua rumah menghadap taman yang bagaikan halaman, SOS Desa Taruna benar-benar menjadi kampung yang ideal dan sehat untuk menumbuhkan relasi dan interaksi antarindividu dengan latar belakang yang berbeda-beda. Pandangan setiap penghuni terarah ke taman untuk merajut kebersamaan.
Kondisi ini sangat kontras dengan sejumlah perumahan ekskulsif yang menjamur di sekitarnya. Perumahan tersebut tidak memungkinkan orang-orang yang berbeda keyakinan bergabung di dalamnya. Mereka justru mendirikan tembok pemisah hubungan antarwarga, alih-alih membangun jembatan yang memungkinkan perbedaan-perbedaan tumbuh berdampingan menghiasi kehidupan bersama laksana taman dengan aneka jenis dan warga bunga.
Perumahan eksklusif tidak menghayati moderasi beragama yang di saat ini tengah dihidupkan oleh negara kepada seluruh warga. Sebaliknya, SOS Desa Taruna bukan lagi hanya memahaminya sebatas pikiran, tetapi sudah menghayatinya dengan tindakan nyata dalam keseharian. Moderasi beragama di perkampungan SOS bukan lagi materi yang membutuhkan diskusi dan pembahasan dari berbagai sudut, tetapi sudah menjadi nilai-nilai kehidupan yang dijadikan budaya atau habitus.
SOS Desa Taruna dibangun dengan memerhatikan kebutuhan penghuninya. Anak-anak tinggal di rumah layaknya keluarga inti dengan orang tua asuh yang seagama dengan mereka. Secara spiritual, mereka diberi kesempatan untuk mempelajari agama masing-masing dan menjalankan kegiatan penghayatan keagamaan mereka sendiri. Semua penduduk perkampungan itu tahu agama dan kepercayaan masing-masing. Namun, tidak ada satu pun yang risih di antara mereka.