Lihat ke Halaman Asli

b

Diperbarui: 27 Mei 2017   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi Suku Bajau, laut adalah roh kehidupan. Menjadi nelayan adalah garis takdir yang tidak bisa dihindari. Gelombang dan segala kemisteriusan lautan adalah kawan sejati saat bertualang menemukan rezeki. Setiap kehidupan tentu punya tantangan, bagi Suku Bajau tak ada rezeki tanpa resiko.

Eksistensi Suku Bajau Samuntai di pesisir Berau, Kalimantan Timur, menegaskan bahwa tak ada laut yang tak ada ikannya. Bahwa Suku Bajau adalah suku yang akrab dan melekat dengan bahasa laut. Suku yang memahami irama dan denyut kehidupan di lautan. Suku yang membawa keharmonisan semesta. Suku yang memahami bahwa laut tak boleh dirusak. Bahwa laut tak hanya ikan. Bahwa laut adalah masa depan manusia.

Konsep melaut dan memelihara laut adalah pelajaran tanpa teori yang tertanam di relung jiwa para generasi Suku Bajau Samuntai. Melaut tidak lagi diceritakan, sejak kecil melaut sudah jadi kebiasaan yang dipraktekkan. Apa yang ada di bawah laut adalah apa yang dilihat mata sejak baru mengenal tenaga. Pak Tuppi adalah satu dari banyak keturunan Suku Bajau Samuntai yang melangsungkan kegigihan melaut dan mempraktekkan cara mencari ikan yang tak merusak laut. Pak Tuppi adalah nelayan pancing, ikan yang dicarinya adalah ikan sunuk atau kerapu yang kemudian dijual hidup-hidup. Kalau ada yang mati atau tidak masuk ukuran, maka ikan itulah yang akan dimakan oleh keluarganya.

Pak Tuppi bisa bertahan di tengah lautan berhari-hari. "Tergantung hasil, dan kondisi es", jawab Pak Tuppi saat ditanya berapa hari dia di laut memancing. Pak Tuppi paling cepat 3 malam, baru akan pulang ke rumah. Pernah juga Pak Tuppi bertahan sampai 12 hari di tengah lautan karena ikan tak mau makan. "Pantang pulang kalau tak bawa hasil", tegas Pak Tuppi. Bukan sekali juga Pak Tuppi terkurung badai, ombak tinggi, mesin macet, dan banyak lika-liku sebagai nelayan pancing.

Pernah suatu waktu, ketika akan berangkat melaut, ibu jari kakinya seperti disengat serangga. Tapi dia masih berjalan mencoba mencapai perahunya. Waktu itu air laut hanya sepinggang orang dewasa. Perahunya sengaja dilabuhkan di tempat yang tidak akan kering ketika air laut surut.

Pak Tuppi berhenti sebelum mencapai perahunya, kakinya terasa semakin nyeri, meskipun kakinya masih di dalam air. "Ada yang tidak beres dengan 'sengatan serangga' ini", begitulah kira-kira Pak Tuppi membatin saat untuk memutuskan kembali ke rumah. Rumah yang sebagiannya berada di atas laut ketika air pasang.

Sesampainya di rumah, betul, rupanya bukan 'sengatan serangga' biasa. Barulah diyakini kalo nyeri yang dihasilkan sengatan tadi berasal dari tusukan ikan pari. Niat melaut tak ada lagi. Langit di luar yang membiru berubah menjadi penglihatan gelap di mata Pak Tuppi. Nyeri di ibu jari kaki kanannya, sekejap berganti menjadi sakit yang menyebar ke seluruh tubuh. "Hampir pingsan saya dibuatnya", Pak Tuppi berkisah.

Pak Tuppi bukan kali saja tertusuk ikan pari. Ingatannya berkata, ini sudah yang ketiga kalinya. Setiap kali tertusuk pari, ia selalu nyaris merasakan pingsan. Beruntungnya, semua tusukan pari itu, berhasil dipulihkan. Beruntung, sebab beberapa kasus nelayan di Pulau Balikukup, kampung Pak Tuppi, tusukan pari berakhir dengan amputasi, atau cacat seumur hidup.

Pak Tuppi sendiri membawa sakit dari tusukan pari hampir dua minggu lamanya. Keluarganya yang menggantungkan sumbu perekonomian dari hasil memacingnya terpaksa mengutang berhari-hari untuk menyalakan api kompor demi mengenyangkan anak dan istri, juga ibu bapaknya yang tak mampu melaut lagi. Hasil melaut memang hanya selalu cukup untuk menghidupi keluarga selama kurang lebih seminggu. Apalagi ketika musim angin dan ikan enggan memakan umpan. Hasil memancing akan defisit dengan pengeluaran-pengeluaran rumah tangga, popok dan susu Si Citra, anak balita Pak Tuppi, jajan Si Tauhid yang kian boros di sekolahnya. Maka mengutang di tengkulak adalah jalan praktis untuk membuat seisi rumah bisa tersenyum memakan nasi, meminum kopi, jajan, popok, susu, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berhari-hari Pak Tuppi tak enak badan karena tusukan pari itu. Diserang demam tinggi, sampai tak bisa berjalan lagi. Uniknya, Pak Tuppi adalah orang yang punya riwayat ketidakcocokan dengan beberapa jenis obat. Beberapa jenis obat yang dikonsumsinya bukan menjadikannya pulih, malah membuat wajahnya membengkak, seperti orang yang habis digebuk. Alergi obat itu terjadi juga ketika mengobati luka tusukan pari itu. Sampai bola matanya tak kelihatan lagi. Bibirnya juga membengkak.

Pak Tuppi adalah bapak juga anak yang tangguh. Pejuang keluarga yang tangguh. Usianya belum seberapa, tapi usahanya selalu tak terkira. Pak Tuppi mempertaruhkan diri dan kehidupannya untuk kehidupan orang lain. Kehidupan dan keberlanjutan nafas keluarga. Bahwa setiap rumah punya pejuang tangguh di dalamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline