Tidak banyak hidup yang bisa manusia rayakan. Dalam berbagai keadaan, manusia lebih suka menamainya ujian yang lalu diresponnya dengan gerutu dan rasa tidak pernah bersyukur. Seseorang yang selalu menampakkan keceriaannya merayakan hidup lalu kemudian selalu menyadari setiap geraknya adalah suatu cerminan keteladanan, maka dialah manusia yang kita sebut sebagai guru. Guru dalam hal apapun, guru yang mengajarkan bagaimana hidup harus dirayakan dengan syukur dan bahagia.
Mari saya perkenalkan satu guru kehidupan di tanah batas negeri ini. Namanya Pak La Roi. Guru pegawai negeri di SD 003 Kelompok Desa Sumentobol, Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Sudah lima tahun menjadi guru di sekolah hulu sungai batas negeri. Angka lima tahun adalah angka sejarah bagi seorang guru luar yang mampu bertahan di pedalaman dan perbatasan negeri ini. Sungguh menjadi guru di sekolah tanah batas itu adalah ujian batin yang tidak kira-kira pilunya.
Bagaimana tidak, sekolah dasar tempat mengajar Pak La Roi itu mewadahi tujuh desa terdekat. Jauh teriosolir dari jaman. Hanya diakses dengan perahu longboat. Dari tujuh desa hulu sungai Kalimantan itu, hanya ada satu orang yang bergelar sarjana, gelar yang baru setahun ini ada bagi warga tujuh desa ini. Pak La Roi datang tidak semata menjadi guru di sekolah. Dia datang menjadi pelita di tengah gulitanya tujuh desa tanpa listrik ini.
Pak La Roi selalu menjadi cahaya bagi kegelapan berpikir masyarakat. Cahayanya tidak hanya meramba saat menjadi guru di kelas, namun cahaya itu menjalar ke seluruh ruang hidup masyarakat. Pak La Roi serupa seorang sarjana pendidikan yang semua bidang pengetahuan dikuasainya.
Sejujurnya, untuk hal yang filosofis seperti menjadi bahagia dengan apa adanya kesederhanaan dan keterbatasan, masyarakat hulu sungai ini sangat tidak perlu diajari. Masyarakat sudah cukup mengerti apa itu hidup bahagia dengan alam, bahagia dengan gelap, bahagia tanpa listrik, bahagia dengan berburu, bahagia dengan masuk hutan mencari kayu gaharu berbulan-bulan. Orang-orang di hulu batas negeri ini cukup mengerti kalau sarjana adalah orang berpendidikan tinggi yang mengecap aroma pengetahuan teknologi dan kemutakhiran dunia.
Suatu ketika Pak La Roi pernah membicarakan perihal keinginannya untuk pindah lokasi ke daerah yang lebih nyaman dari segi fasilitas. Namun tak ada seorang pun di desa yang mendukung rencana itu. Mereka mengkhawatirkan keberlangsungan sekolah dan nasib anak-anak mereka yang hanya diajar sekadarnya. Bahkan mereka rela berkorban untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan Pak La Roi agar Pak La Roi tetap berada di desa mengajar anak-anak mereka.
Dalam tugasnya, Pak La Roi memang pulang menemui istri dan anaknya di pulau yang lain. Waktu tempuh untuk melakukan pertemuan itu butuh berhari-hari untuk sampai. Maka, kepulangan dan perjumpaan Pak La Roi dengan keluarganya hanya dilakukan paling banyak dua kali setahun. Saat libur panjang sekolah, atau saat lebaran hari raya.
Pak La Roi tidak pernah tega membiarkan murid-muridnya terluntah dan hanya bermain di siring sungai. Pak La Roi benar-benar telah menjadi kunci bagi kehidupan masyarakat hulu sungai dan sekaligus menjadi rumah bagi murid-muridnya. Maka pegawai negeri seperti Pak La Roi adalah senyata-nyatanya pahlawan pendidikan di tanah batas negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H