Lihat ke Halaman Asli

Magis Manggris

Diperbarui: 1 Juni 2016   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sebuah kampung hulu sungai pedalaman Kalimantan bernama Sumentobol, kampung di ujung negeri yang separuh hutannya telah ditanda oleh bendera negara tetangga. Sumentobol adalah kampung yang hutannya masih perawan. Di kampung ini ada satu jenis pohon yang begitu bersahaja dan terkenal di sepanjang generasi manusia di Sumentobol. Pohon itu adalah pohon manggris yang magis.

Manggris ini adalah manggris yang sangat perkasa dan telah hidup berumur mungkin lebih tua dari umur manusia tertua di kampung ini. Sebab orang tertua pun mengakui manggris magis telah raksasa ketika orang tertua tadi mulai mampu mengingat kejadian masa lalu. Besar curiga orang, manggris ini telah ada sebelum orang-orang berinisiatif bermukim di kampung Sumentobol.  Untuk umurnya orang kampung boleh bertaruh bahwa pohon manggris ini telah hidup lebih dari seratus tahun. Sumentobol saja baru disahkan keberadaannya setelah ada kata pembeda tanah air antara Indonesia dan Malaysia. Separuh hutannya yang kini bernegara Malaysia sangat diyakini orang Sumentobol adalah masih wilayah hutan adat nenek moyangnya yang bersuku Dayak, penghuni hutan tropis Borneo yang sejati.

Pohon manggris ini betul-betul besar, jika hanya lima orang yang memeluk pangkal pohonnya, maka dipastikan semua jemari orang yang memeluk itu belum saling bersentuhan. Manggris itu telah melewati banyak pergantian nama tahun. Satu abad bahkan telah dilampauinya. Di bawahnya malah dijadikan tempat peristrahatan terakhir manusia-manusia yang mangkat dari hidupnya. Berjejer rapi makam-makam manusia yang telah mendahuluinya mati. Manggris magis ini telah menyaksikan banyak sekali upacara kematian, sementara dia masih terlihat kuat untuk sekedar hanya menghadapi hari tumbangnya. Setidaknya, tidak ada tanda-tanda kalau manggris ini akan runtuh dalam beberapa waktu ke depan. Pernah di suatu tahun yang kemaraunya begitu panjang, Sumentobol di pedalaman Kalimantan pun merasakan lamanya hujan tak menyapa bumi. Air sungai begitu jernih dan dangkal. Pohon-pohon juga nampak kekeringan. Tak ayal, si manggris tua juga kebagian hawa kemarau. Lalu di tahun itu diingat orang kampung sebagai tahun yang benar-benar magis terhadap si manggris. Sebab dalam semalam, seluruh daun di pohon manggris itu luruh tak bersisa sedikit pun. Orang kampung meyakini sepenuh rongga jiwa, bahwa peristiwa itu adalah peristiwa diputarnya si manggris dari akar menjadi daun, dari daun menjadi akar, atau bahasa mudahnya, atas menjadi bawah, bawah menjadi atas. Pengakuan orang kampung, bagian atas manggris itu memang persis seperti akar pohon. Magis si manggris tidak dibuat-buat, ratusan mata menjadikannya fakta yang nyata.

Manggris ini bukannya tidak diinginkan tumbang oleh orang kampung. Sebab bila dihitung secara matematis, pohon manggris ini sudah tentu akan menghasilkan beberapa kubik kayu yang menjanjikan. Tapi kemungkinan menjanjikan itu, lebih dulu mental di benak orang kampung ketimbang semua resiko magis yang akan menimpah siapa saja orang yang mencoba-coba menumbangkan si pohon manggris. Bila ditengok, tepat dari sekitar pangkal pohon, maka manggris ini nampak seperti sesuatu, katakanlah tali besar yang menghubungkan dunia tanah dan dunia langit. Maka, manggris ini betul-betul tinggi.

Untuk sekadar melukai pohon manggris ini saja, tak ada orang kampung yang hendak melakukannya. Pernah suatu waktu yang telah lampau, bertahun-tahun yang lalu, seorang warga kampung yang entah didesak oleh pikiran apa, mencoba menebas pangkal pohon manggris itu dengan sebilah parang, maka apa yang terjadi, pangkal pohon manggris itu malah memuncratkan cairan berwarna merah. Selanjutnya, orang kampung yang menyaksikan kejadian magis itu meyakini bahwa itu adalah darah dari penunggu pohon manggris yang uzur itu. Sebagai sebuah peringatan untuk tidak berbuat macam-macam terhadap si manggris. Setelah kejadian magis terakhir yang disaksikan mata itu, tak ada lagi pikiran untuk menumbangkan pohon magis itu.

Orang kampung hulu pedalaman Kalimantan seperti kampung Sumentobol ini sebenarnya sudah terbiasa hidup dengan pohon-pohonan. Tidak lupa diyakini bahwa setiap pohon yang mampu tumbuh lama dan perkasa maka selalu ada istilah “penunggu” di situ. Keyakinan ini adalah sebuah keniscayaan orang hulu yang bersuku Dayak ini.

Siapa nyana di suatu hari yang cerah, sekelompok orang asing datang ke kampung untuk mengerjakan sebuah proyek dari kecamatan. Pembangunan Posyandu Sumentobol, tapi para tukangnya dari luar kampung. Ada lima orang, lebih detilnya tiga orang bersuku Jawa. Satu yang nampak paling berumur di antara semua, sudah tujuh belas tahun di rantau, di utara Kalimantan ini. Sedang dua orang bersuku Jawa lainnya baru tiga tahun menetap di tanah Borneo terlihat masih muda dan belum banyak menelan asam garam kehidupan. Bisa diduga, kedua anak muda ini mungkin baru tamat SMP telah memilih merantau mencari jalan takdir yang lebih mujur, dan diambillah jalan menuju Kalimantan lalu akhirnya kini tersemat di tengah hutan Borneo yang pekat dan penuh aura magis. Dua orang tersisa adalah berasal dari hilir, suku aslinya Bugis, tapi dua orang ini sama-sama lahir dan besar di tanah orang bersuku Dayak. Penjelasan tentang muasal suku ini penting untuk ceritera selanjutnya. Sebab seringkali di utara Borneo ini, masalah bermula dari muasal suku dan berkonflik pada temali masalah lainnya. Sejarah tanah yang banyak dimukim orang rantau rentan tersusupi isu primordialisme yang buta membaca perbedaan.

Di antara lima orang ini, seperti biasa tentu ada yang bertindak sebagai kepala tukang, dialah Suroto bersuku Jawa yang air mukanya paling matang di antara semua. Tetapi umur tidak selalu sejalan dengan dewasa berfikirnya seseorang. Argumen di atas sekaligus menceritakan nasib Suroto yang mungkin tidak dewasa mengecap masalah dalam hidup.

Tak sampai sebulan, pekerjaan Posyandu di kampung Sumentobol itu dirampungkan. Suroto sebagai kepala tukang tidak terlalu perfeksionis dalam urusan pekerjaan proyek begini. Dia sudah hafal aksara dan angka-angka dalam sebuah pekerjaan pemerintah serupa ini. Dalam kosa-kata yang paling kasar, semakin tidak terjangkau lokasi sebuah proyek, maka asal jadilah pekerjaan itu. Termasuklah Sumentobol ini, sebab kampung hulu sungai pedalaman ini beruntung saja mendapat jatah pendirian bangunan seperti Posyandu. Siapapun, dengan logika berpikir kapitalisme yang untung rugi, maka rasa-rasanya sungguh sangat rumit menyelesaikan sebuah pekerjaan dengan baik di kampung yang berdiam di tengah hutan begini. Yang menjadi rawan adalah bila ada proyek di tempat rumit, maka disitu bisa saja menjadi ladang memetik untung bagi orang yang berkepala korup. Biaya operasional di mark up dan kualitas pekerjaan yang diabaikan. Inilah kenyataan pahit bagi tanah berdaulat di daerah perbatasan sekelas Sumentobol.

Suroto sedikit banyak mempraktekan pengalamannya di bidang proyek bangun-membangun ini. Kali ini dia menjadi kepala tukang yang memberi intruksi layaknya tubuh manusia yang bagian kepala terdapat otak, sumber segala perintah pada anggota tubuh lainnya. Pekerjaan di tengah hutan begini tidak perlu sempurna, asalkan selesai. Begitulah kurang lebih bahasa yang mencuat-mencuat di balik semantik ucapannya pada anggota lainnya.

Posyandu Sumentobol betul-betul telah layak huni. Sisanya adalah peresmian yang mungkin sudah cukup oleh kepala desa atau paling banter oleh satu orang dari kecamatan yang bisa saja hanya seorang staf. Camat terlalu bergengsi untuk memasuki hutan belantara seperti di kampung Sumentobol ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline